Rabu, 15 Januari 2014

Tokoh-tokoh penyebar Siwa Sidhanta

1.        Tokoh-tokoh penyebar Siwa Sidhanta dari India sampai ke Bali yaitu:
a.    Danghyang Markandea
pada abad ke delapan beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur). Bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami Panca Datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegalalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Sivasiddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: surya sewana, bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali, maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
     Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali, karena penduduk diseluruh pulau melaksanakan ajaran Sivasiddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markendea yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya, yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa, warna merah sebagai simbul matahari dan warna putih sebagai simbul bulan digunakan dalam hiasan di pura berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sang Hyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
b.        Mpu Sangkul Putih
Setelah Danghyang Markandea moksah, Mpu Sangkul Putih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antar lain dengan membuat pariasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya, seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain: canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Disamping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan Arca atau Pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari raya: Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didrikan oleh Darhyang Markandea.
c.         Mpu Kurturan
Pada abad ke sebelas datanglah ke Bali seorang Brhmana Budha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wuhyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikira-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbul Palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, pura kahyangan tiga di tiap pura desa, dan pembangunan pura-pura Kiduling kerteg (brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siva), serta Padma tiga di Besakih. Paham Tri Murti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (Pangider-ider).
Seperti disebutkan oleh R. Goris, pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sectarian. Ada 9 sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna, anatar lain: sekte pasupata, bairawa, sivasiddhanta, waisnawa, bodha, brahma, rsi, sora dan ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut sivasiddhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana, 1989:56) masing-masing sekte memuja dewa-dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai dewa utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadwatalah yang paling utama sedngkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa di dalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative kepada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan hanya menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancer dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya dharmapatni warmadewa berkesepakatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara, yaitu: Mpu semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya.
d.        Mpu Manik Angkeran
Setekah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksug agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bhatin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
e.         Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupatia untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
f.          Danghyang Dwijendra
Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keeling di jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Budha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di purancak, jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.bentuk bengunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/Danghyang Nirata, dan dijuluki: Pedanda Sakti Wawu rawuh karena beliau mempunyai kekuatan supranatural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawa diatur, hukum peradilan agama/adapt ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh /klan dusun. Awig-awig desa pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuh kembangkan, dan kegiatan keagamaan di tingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan kaya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain: sebum bangkung, Sara Kusuma, Legarang, Mahisa Langit, Dharma Pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk Menur, Brati sesana, Aji pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat diberbagai pedesaan untuk memberikan dharma Wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bernukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi, Pakendungan, Hulu Watu, Bukit Gong, Bukit Payung, sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkolak, Gua Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamanyu, Pucak Tedung, dll.
Keenam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tatwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali, dengan Hindu di luar Bali, karena di Bali sesungguhnya siwa sidhanta dan Buhda kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang Bali.

2.    Kristalisasi semua sekte di Bali dengan mengatas namakan Siwa Sidhanta yaitu :
Kristalisasi semua Sekte di Bali mengatas namakan Siwa Sidhanta, karena ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekte Siwa lainnya. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Dibuat kesimpulan Siwa karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda pun dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wraspati Tattwa. Pemantapan pemahaman Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirata.
Pada saat adanya rapat mejelis yang membahas tentang bagaimana cara agar menyederhanakan keagamaan di Bali dan menyatukan sekte-sekte di Bali. Pada saat itu Sekte Siwa Sidhanta menjadi pemenang dalam rapat itu karena Siwa Sidhanta disepakati menjadi wadah dari semua sekte yang ada dengan menggunakan paham Tri Murti. Dan Siwa Sidhanta merupakan satu kesatuan dari semua sekte yang ada yang mencakup segala kepercayaan yang ada dalam ke sembilah sekte di Bali. Jadi jelas pula bahwa Kristalisasi Sekte-Sekte di Bali yang Menjadi Sekte Siwasidhanta memang benar, karena Siwa Sidhanta merupakan sekte yang paling mendominasi pada kalangan masyarakat Hindu di Bali dan Siwa Sidhanta merupakan sekte yang paling utama, diantara sekte yang lainnya.

3.    Konsep kristalisasi yang di buat oleh Mpu Kuturan
Konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan adalah dalam rapat majelis yang diadakan  di Bata Anyar Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali yang layak dianggapsebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali di tampung dalam satu wadah yang di sebut ‘Siwa Budha” sebagai persenyawaan Siwa dan Budha. Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi wasa dalam perwujudanya yang masing-masing bernama:
a.                 Pura Desa bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
b.                 Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
c.                 Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi wasa.
Ketiga pura ini disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga dilahirkan organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal dengan “Desa Adat”. Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, sosial dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua Prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai di tulis dengan bahasa jawa Kuna (Kawi). Akhirnya dibekas tempat rapat itu di bangun sebuah pura yang di beri nama Pura Samuan Tiga.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbul palinggih Kemulan Rong Tigadi tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga di Besakih.

4.    Konsep penyatuan merajan dalam Siwa Sidhanta
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih. Konsep penyatuan merajan dalam Siwa Sidhanta, Palinggih yang ada pada merajan saya dan menurut keyakinan keluarga saya, yaitu sebagai berikut:
1)        Rong 1 (Satu), Pemujaan ke Gunung Agung, untuk memuja Dewa Siwa. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta.
2)        Rong 2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14, di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.
3)        Sanggaran, Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Pemujaan kepada Bhatara Surya di adopsi dari Sekte Sora.
4)        Rong 3 (Tiga), merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan R3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang Guru. Pemujaan ini di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan.
5)        Pangrurah, merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan. Sertan Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi untuk menjaga merajan.
6)        Lebuh, Pemujaan kepada Bhatara Baruna (Segara). Untuk memohon lindungan dari Bhatara segara. palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Waisnawa.
7)        Apit lawang, apit lawang berada di luar areal merajan (jabaan), apit lawang ada 2, yaitu di samping kiri dan kanan pemedal merajan. Pemujaannya ditujukan kepada penunggu karang (kala). Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai penghalang gangguan untuk melindungi merajan dari gangguan kala yang memiliki unsur negatif.
8)        Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan 7 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya. Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
Pemujaan pada Tuhan ini memotivasi umat Hindu di Bali agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak Tri Bhuwana. Lebih khusus lagi untuk di Bali dengan memuja Tuhan dengan simbol sakral di pelinggih-pelinggih yang ada, berarti umat di Bali dimotivasi untuk memelihara kelestarian segara, dataran rendah dan daerah perbukitan serta pegunungan. Dengan berfungsinya sumber-sumber alam tersebut secara terpadu kehidupan di Bali ini akan berlangsung dengan baik, benar dan wajar.

5.    Fenomena mencontek dalam ujian, korupsi, dan teroris dalam Siwa Sidhanta
Saya mengambil salah satu contoh pokok bahasan/bagian dari Siwa Sidhanta untuk menyikapi fenomena diatas dengan unsur Acetana. Menurut saya fenomena seperti budaya menyontek dalam ujian, korupsi, dan teroris dihubungkan  dengan Siwa Sidhanta. Merupakan fenomena yang sangat erat kaitannya dengan Siwa Sidhanta, karena pada Siwa Sidhanta terdapat dua unsur elemen utama yang menjadi sumber adanya segala sesuatu yang sering disebut Rwa Bhineda tattwa, yakni Cetana dan Acetana. Dari beberapa kasus di atas memiliki hubungan dengan unsur Acetana, dimana Acetana ini merupakan unsur yang tanpa memilki kesadaran atau tanpa jiwa, tetap bersifat lupa atau tidak pernah ingat, serta menjadi benih atau sumber asal mula material dari pada alam semesta dengan segala isinya. Jadi kasus menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris, pada orang atau pihak yang melakukannya bisa disebut tidak memilki kesadaran atau jiwa, mereka lupa dengan apa yang telah dilakukan. Dari budaya menyontek pada saat ujian, dimana orang yang melakukan hal tersebut tidak memilki kesiapan dalam menghadapi ujian, sehingga ia melakukan tindakan curang, dimana pada saat hal ini terjadi ia tidak sadar, lupa dan tiada ingat lagi. Sedangkan pada kasus korupsi dan teroris sebenarnya memiliki kemiripan pada dampak yang diakibatkan, yaitu apabila dikasus korupsi mereka akan membuat orang lain menjadi rugi, atau dapat menyengsarakan orang lain dengan mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya. Sedangkan pada praktek terorisme yang menjadi teror-teror bagi Negara-negara di dunia terutama bagi umat manusia yang terancam karena ulah para teroris merupakan tindakan yang bukan hanya merugikan namun menghilangkan banyak nyawa dari aksi-aksi yang dilakukan oleh teroris. Jadi kasus-kasus seperti ini memang tidak memilki kesadaran atau jiwa, dan lupa dengan apa yang dilakukan. Sehingga inilah yang membentuk berbagai wujud sesuatu beserta sifatnya masing-masing.


0 komentar: