MAKNA
ATRIBUT DEWA SIVA
Penampilan
Siva, tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan abu. Tubuh yang telanjang
melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada benda material di dunia,
karena kebanyakan benda akan menjadi abu jika dibakar. Abu melambangkan
intisari dari semua benda dan mahluk di dunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan
bahwa Ia adalah sumber dari seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya.
Siva memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siva dikenal dengan
nama Kapardi, karena memiliki rambut merah dan digelung tersebut. Siva juga
dinyatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (trinetra), Phalanetra, Agilocana,
Trilocana, bermata tiga dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan
aktifitas fisiknya di dunia, di tengah-tengah dahinya adalah mata ketiga, yang
menggambarkan energi pengembali yang jika dibiarkan lepas menghancurkan dunia
dan lain-lain, pada sumber lainya tiga mata di tengah-tengah dahi dikatakan
sebagai lambang pengetahuan (jnana) disebut juga mata kebijaksanaan,
karena kekuatan pandangan mata ketiga Siva menghancurkan kejahatan.
Tuhan Siva meminum racun yang keluar dari laut
memakai Ganga dan bulan dikepalanya untuk mendinginkan kepala-Nya, mata
ketiga-Nya menyala, Abhiseka yang terus menerus mendinginkan matanya. Siva
disebut yang bisa menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Agni. Siva
menghancurkan segalanya, membawa Trisula yang memiliki tiga ujung. Trisula yang
dipegang di tangan kanannya menjelaskan tiga Guna Sattva-Rajas-Tamas, yang
melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini, Trisula juga
dilambangkan sebagai senjata yang digunakan dewa untuk menghancurkan kejahatan
dan ketidakperdulian di dunia. Dan juga merupakan lencana paling berkuasa, Ia
mempergunakan dunia dengan ketiga Guna tersebut. Siva juga memiliki pedang di
tangan-Nya, ini menjelaskan bahwa Ia adalah penghancur kelahiran dan kematian.
Api pada satu dari tangan-Nya menunjukkan Ia melindungi Jiva dengan membakar
semua belenggu. Senjatanya yang lain disebut Pinaka, oleh karena itu Siva
disebut juga dengan nama Pinakapani (yang memegang Pinaka ditangannya). Baik Siva maupun kendaraannya,
Nandini berwarna putih yang menjelaskan Satsanga. Jika kamu mengadakan
perkumpulan dengan orang-orang suci, kamu mencapai realisasi Tuhan, orang suci
menunjukkan pada kamu jalan mencapai Siva. Warna putih menunjukkan Siva
memiliki hati yang murni. Siva digambarkan memiliki 2, 2, 8 dan 10 tangan.
Di
samping memegang Pinaka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvanga, busur
bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang kecil)
yang menghasilkan suara bergetar, yang diletakkan pada tangan kirinya tersebut
menjelaskan Sabda Brahman, ia menjelaskan OM dari mana semua bahasa dibentuk.
Makna yang lainnya adalah Ia menyangga seluruh ciptaan di tangan-Nya, mengatur
sesuai dengan keinginanannya. Itu adalah ia yang membentuk bahasa Sanskrit
keluar dari Damaru, dan benda-benda suci lainnya. Ganga (dewi Ganga) yang
menyimbulkan madu Abadi dan Ardhacandra (bulan Sabit) yang menunjukkan bahwa Ia
telah mengontrol pikiran secara sempurna bertengger pada kepalanya, juga
melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada di dalamnya dari awal sampai
akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah kenyataan yang abadi, bulan
sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diri-Nya oleh karena itu disebut
juga gangadhara dan Candracuda. Siva digambarkan duduk di atas kuburan, yang
melambangkan kemutlakannya mengendalikan kelahiran dan kematian. Kalung bung
yang terbuat dari untaian tengkorak manusia melingkar di lehernya. Siva
mengenakan bhusana (kain) dari kulit macan dan kulit gajah untuk selimut
(blanket) Nya, yang menunjukkan bahwa Ia telah mengontrol kebanggaan, di
lengannya bergelayutan beberapa ekor ular sebagai hiasan. Di dalam kitab-kitab
Purana kita mendapatkan informasi tentang Sang Hyang Siva memperoleh berbagai
hiasan tersebut. Istri para rsi terpikat pada Siva, yang sekali waktu tampil
dengan mengenakan pakaian seperti orang yang meminta-minta. Para rsi sangat
marah terhadap Siva atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang
yang digali, muncul seekor harimau, Siva membunuh harimau itu dan mengambil
kulitnya, kulit harimau menjelaskan tentang nafsu, Ia menduduki kulit harimau
menandakan Ia telah menang melawan nafsu. Seekor menjangan mengikuti harimau
muncul di lobang itu, lalu Siva memegang binatang itu dengan tangan kirinya,
menunjukkan bahwa Ia telah menghilangkan Chancalata (kesana-kemari) pikiran.
Selanjutnya muncul dari lobang itu tongkat besi panas berwarna merah, kemudian
Siva mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terakhir dari lobang
muncul beberapa ekor ular kobra dan Siva mengambil ular dan mengenakannya
sebagai hiasannya, ini menunjukkan bahwa Siva secara mutlak tanpa takut dan
abadi karena ular hidup untuk lama.
Suatu
hari raksasa yang bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan
diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siva. Siva muncul dan membunuh
gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari
Siva mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia
dikenal dengan nama Nagajundala. Brahma meminta kepada Rudra untuk memciptakan
manusia, dan permintaan itu dipenuhinya, tetapi manusia ciptaanya menjadi
manusia yang sangat bengis. Brahma khawatir terhadap mahluk itu akan memakan
mahluk-mahluk lainnya. Brahma yang gemetar karena ketakutan meminta kepada
Rudra untuk menghentikan penciptaan manusia itu dan meminta menciptakan yang
lain. Selanjutnya rudra mulai mempraktekkan tapa.
Kristalisasi Sekte-Sekte di Bali
yang Menjadi Sekte Siwasidhanta dalam Bentuk panca Yadnya
Menurut
Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa
Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan
Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar
pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam
lontar Bhuanakosa.
1. Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak.
Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang
paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa
Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini
megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan
Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan
fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai
fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah
(Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh
Maharesi Agastya.
2.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta
tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan
menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi
penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di
beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam
jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula
yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
3. Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas
diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi
Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan
kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi
yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa
di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
4.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra
Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam
stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan
hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan
sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca
Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang
Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
5. Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris
seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut
Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana,
Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra
merupakan produk dari sekte Brahmana.
6.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk
kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan
berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada
orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7. Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama
yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem
pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari
terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar
yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu
yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan
terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang
telah melakukan yajnya.
8. Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa
Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan
arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau
dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah
sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa
diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung,
lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel,
banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah
satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan
secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
9.
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan
terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali
merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu
(Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte
ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan
(magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam
lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh
manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada
tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya
berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa
Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang
didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi
tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati,
sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti
telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma
Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang
berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara
damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi
bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman
Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada
Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu
Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di
Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan
Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
BUKTI KRISTALISASINYA DENGAN PANCA
YADNYA
Panca
Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di
dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha
Yadnya tersebut terdiri dari:
1.
Dewa Yadnya.
Ialah
suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh
manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu
selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada
asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya
(bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di
tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci,
hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari
raya lainnya. Upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan, misalnya:
1).
Pada hari raya yang berdasarkan pawukon yaitu, Hari senen pon, wuku di sebut
Hari soma Ribek. Hari ini sebagai pemujaan kehadapan Dewi Sri (Sekte
Waisnawa). Pelaksanaan pemujaannya dengan jalan menghaturkan upacara di
lumbung serta penyimpanan beras (pulu) berupa: nyahnyah geringsing, geti-geti,
disertai dengan pisang mas, serta wangi-wangian. Yang juga patut dilaksanakan
pada hari ini adalah mendalami ajaran-ajaran kerohanian dan dianjurkan pada
hari ini tidak tidur disiang harinya. Hari rebo kliwon wuku sinta, disebut
budha kliwon pagerwesi, hari ini adalah hari payogannya Sang Hyang Siwa
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru di sertai oleh para Dewa,
menciptakan dan mengembangkan kelestarian kehidupan didunia ini. Para pendeta (Sekte
Rsi) pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan weda apasang lingga, memuja
kehadapan Sang Hyang Pramesti Guru. Upakaranya : Suci 1, daksina 1, pras
penyeneng, sesayut panca lingga, penek, ajuman, serta buah-buahan,
wangi-wangian, serta kelengkapannya. Upakara tersebut dipersembahkan disanggah
kemulan. Untuk umat/anggota keluarga natab sesayut pageh urip, dan prayascita.
Pada tengah malam hendaknya melaksanakan yoga Samadhi. Di halaman rumah
menghaturkan segehan (sekte bairawa). Hari rebo paing wuku kuningan,
hari ini adalah puja wali Bhatara Wisnu (Sekte waisnawa) upakaranya: sedah
ingapon, putih ijo, jambe, 26 tumpeng ireng, serta kelengkapannya. Pelaksanaan
upacara tersebut dilaksanakan disanggah/merajan masing-masing diakhiri dengan
persembahyangannya.
2).
Hari raya yang berdasarkan panca wara, hari Selasa kliwon, disebut Anggara
Kasih. Hari ini adalah hari payogannya Bhatara Rudra beliauberyoga untuk
menghilangakan kekotoran alam semesta. Bagi umat hindu dianjurkan juga untuk
melaksanakan yoga untuk menghilangkan mala petaka dan rintangan yang ada pada
diri sendiri. Upakara yang dipersembahkan antara lain: canang lenga wangi burat
wangi, dipersembahkan disanggar dan dipelangkiran diatas tempat tidurdan
dilanjutkan dengan mohon air suci/tirta (Sekte Waisnawa). Adapun makna
yang terkandung dari canang itu sendiri adalah plawa sebagai perlambang
ketenangan dan kesucian hati, reringgitan dari janur melambangkan kelanggehan
dan kesungguhan hati, Sirih pada porosan melambangkan Hyang Wisnu (Sekte
Waisnawa), kapur melambangkan Hyang iswara (Sekte Siwa), pinang
melambangkan Hyang Brahma (Sekte Sora). Pemujaan pada waktu Gerhana
Bulan, adalah pertemuannya pada satu garis lurus antara bulan dan matahari.
Dianjurkan agar melaksanakan tapa diyana, Samadhi, dan membaca ceritra-ceritra
yang utama seperti parwa-parwa dan sejenisnya dihlaman rumah, sambil memuja
sang Hyang Surya Chandra (Sekte Sora).
2.
Bhuta Yadnya.
Adalah
suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk
rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala),
hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan
ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun
pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci)
yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan
istilah Mecaru atau Agung (Sekte Bairawa), dengan tujuan untuk menjaga
keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu
keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Persembahan
dalam Bhuta Yadnya itu didominasi oleh pengaruh Sekte Bairawa, contohnya:
upacara pecaruan yang sebagian besar menggunakan binatang dan darah binatang,
hal ini dilakukan untuk membersihkan alam dari energi negative dan untuk
menyeimbangkan segala yang ada di dunia ini, ini juga merupakan bagian dari Sekte
Gonapatya.
3.
Rsi Yadnya.
Adalah
suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha
Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru (Sekte Brahmana) yang di
dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1). Penobatan calon sulinggih menjadi
sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2). Membangun tempat- tempat pemujaan
untuk Sulinggih.
3). Menghaturkan/ memberikan punia pada
saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4). Mentaati, menghayati, dan
mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5). Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan
pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
Dalam
melaksanakan suatu upacara yang besar, seperti tawur kesanga, Panca walikrama,
eka dasa rudra biasanya yang akan muputadalah Tri Sadaka. Sang Tri sadaka yang
dimaksud adalah sulinggih siwa, budha atau sering juga diucapkan sang Resi,
Siwa Sogata ketiga sulinggih ini
mempunyai wewenang khusus, yaitu :
1).
Sang Sulinggih Siwa, sebagai pembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa.
Melalui pujanya sang sulinggih siwa berwenang menghaturkan munggah kesanggar
surya (Sekte Sora) yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas
ke bawah. Sulinggih siwa berasal dari masab siwa (Sekte Siwa). Artinya
sang sulinggih siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan
kekuatan sang hyang widhi.
2).
Sang sulinggih Buddha, memperse4mbahkan atau menghaturka yadnya pada alam
tengah atau awing-awang. Sang sulinggih Buddha berasal dari masab Buddha (Sekte
Bodha) yang memiliki keahlian menyucikan alam tengah dan mempertemukan
kekutan suci hyang widhi dengan kekuatan buta kala yang telah di somya di alam
bawah.
3).
Sang sulinggih Rsi, Bhujangga, Sengghu, beliau mempunyai wewenang sebagai
pembersih atau menyucikan alam bawah dan untuk nyupat Buta-kala atau
menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta kala sehingga menjadi somya.
4.
Pitra Yadnya.
lalah
suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan
Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan
menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai
tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra
Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta
menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan
orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan
layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan
Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia
telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
1). Kita berhutang badan yang disebut
dengan istilah Sarirakrit.
2). Kita berhutang budi yang disebut
dengan istilah Anadatha.
3). Kita berhutang jiwa yang disebut
dengan istilah Pranadatha.
Upakara
bebanten termasuk Drwaya Yadnya. Bentuk bebanten dan sarana yang dipakai dalam
Pitra yadnya, menurut sifatnya wujud kesatuan yang harmonis dari berbagai unsur
Hinduisme, yakni : Sambu, Brahma (Sekte Sora), Indra, Wisnu (Sekte
Waisnawa), Bayu, Kala (Sekte Bairawa), Ciwa (Sekte Siwa), dan
Budha (Sekte Bodha).
5.
Manusa Yadnya.
Manusa
Yadnya dalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia. Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan,
bila diperhatikan pelaksanaan upacara-upacara tersebut terutama di Bali, ada 4
rangkaian acara, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, menjadi satu
kesatuan, yaitu:
1). Mabyakala (Mabyakaonan)
Sebenarnya
acara ini tidak hanya dilaksanakan dalam upacara manusa yadnya melainkan juga
dalam upacara panca yadnya sebagai pendahuluan dan bertujuan membari korban,
memisahkan Bhuta Kala (unsure kekuatan alam) (Sekte Bairawa) yang tidak
sepatutnya berada pada tempat upacara. Setelah menerima korban berupa
sesajen/banten, diharapkan akan pergi meninggalkan tempat atau orang yang akan
diupacarai, tidak mengganggu sebaliknya memberi restu dan keselamatan.
Upakara/banten yang digunakan dinamakan “byakala” dilengkapi dengan
“prayascita”.
2). Melukar dan Mejaya-jaya
Upacara
ini bertujuan membersihkan lahir bhatin seseorang secara spiritual. Lahir
dibersihkan dengan air kelapa muda (kelungaah), air yang telah dipujai (tirtha)
(Sekte Waisnawa), sedangkan bhatin dibersihkan dengan mantra (doa pejaya-jayaan)
yang dipimpin oleh oleh sang sulinggih
yang sederajat dengan beliau, bertempat dimerajan/salah satu bangunan yang
biasa digunakan untuk upacara agama (Sekte Brahmana).
3). Ngayab/Natab
Upakaranya
disebut “banten ayaban/tataban”,dalam pelaksanaanya banten tersebut
dipersembahkan kehadapan para dewa agar berkenan menerima serta memberkahi
orang yang sedang diupacarai. Di dalam lontar Anggastiyaprana disebutkan bahwa
jasmani manusia ditempati oleh kekuatan para dewa, misalnya: hati ditempati oleh
dewa Brahma (Sekte Sora).
4). Bersembahyang (muspa)
Acara
ini yang dilakukan setelah mabyakala tetapi sebelum melukat/mejaya-jaya dan ada
juga yang dilakukan setelah natab. Dalam tulisan ini acara muspa dibagi menjadi
dua yaitu:
- Muspa
yang dilakukan setelah mebyakala, bertujuan untuk memohon waranugraha
persaksian bahwa seseorang akan melaksanakan upacara. Persembahyangn
ditujukan kepada Sang Hyang Siwa Raditya (Bhatara Surya) (Sekte Sora)
sebagai saksi, kehadapan para leluhur, serta Hyang Guru Kemulan (Bhatara
Hyang Guru), untuk mohon restunya.
- Muspa
setelah acara ngayab yaitu sebagai acara akhir/penutupan, bertujuan untuk
menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, para Dewa dan para
Leluhur untuk mohon berkah yang disimbulkan dengan “Wangsuh Pada” dan Bija
(Sekte Waisnawa).
Susunan
Upakara misalnya saya ambil contoh upakara yang terkecil (nistaning nista),
yaitu :
a).
Untuk memohon pengelukatan yaitu, peras, ajuman, daksina, canang
lengawangi-buratwangi, dan pebersihan
b). Untuk pengelukatan yaitu, periuk tanah yang
baru berisi air pancuran, bunga 11 jenis, bunga tunjung/teratai beserta dunnya,
dilengkapi ujung cabang bunut, ancak, beringin masing-masing taga buah dan
samsam daun dap-dap, daun temen serta bija kuning. Air (Sekta Waisnawa)
akan dipujai oleh Sulinggih (Sekte Brahmana) kemudian dipakai ngelukat orang
yang hamil. Pelaksanaanya bersamaan dengan saat “nyurya Sewana” (Sekte
Sora).
Dalam manusa yadnya menggunakan banten
seperti : Banten Pagedongan Matah yaitu, sebuah bakul diisi tampak, beras (Sekte
Waisnawa), kelapa, telur, ketan, injin, beras merah, pisang mentah,
tingkih, pangi, bija-ratus, gantusan, pelawa peselan, base tampel, benang putih
dan lain-lain seperti isi daksina masing-masing satu biji.
Di
dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut
masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan
kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain
guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan
pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu
(athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita
(Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa
Yadnya.
Di
dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah
tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang
diutamakan.
Simpulan
Dalam
Panca Yadnya tentunya persembahan selalu di ikuti dengan persembahyangan dimana
kramaning sembah surya merupakan perwujudan dari Sekte Sora menggunakan
api berupa dupa (Sekte Brahma) setelah itu diakhiri dengan nunas tirta
(air suci)/ bija merupakan perwujudan Sekte Waisnawa dimana Sang Yajamana
mewujudkan Tuhan dengan simbul berupa Lingga, ini merupakan perwujudan dari
Sekte Pasupata dan dengan mediator seorang Sulinggih, ini merupakan perwujudan
dari Sekte Brahmana dan Rsi. Dalam upacara Panca Yadnya dalam sebuah
Banten pasti menggunakan daging, biyasanya menggunakan daging ayam, ini
merupakan perwujudan dari Sekte Bairawa. Jadi jelas pula bahwa Kristalisasi
Sekte-Sekte di Bali yang Menjadi Sekte Siwasidhanta dalam Bentuk panca
Yadnya memang benar ada dan masih kita lakukan sampai sekarang. Namun pada saat
ini Sekte yang paling mendominasi pada kalangan masyarakat Hindu Bali adalah Sekte
Sora dan Sekte Waisnawa, karena pada setiap kegiatan persembahyangan
atau upacara keagamaan psati menggunakan Api (dupa) dan air (Titra).
Refrensi
Mas
Putra, Ny I Gusti Agung. 2000. Panca Yadnya. Denpasar: Pemerintah
Propinsi Bali.
Pasek Gunawan, I
Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Singaraja.
Pandit, Bansi.
2006. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita.
Disadur dari
artikel "Jejak Panjang Bhujangga Waisnawa" .
Majalah Gumi
Bali Sarad No. 99/ Tahun IX Juli 2008.
foto
oleh:(http://1.bp.blogspot.com)
0 komentar:
Posting Komentar