Rabu, 15 Januari 2014

MAKNA ATRIBUT DEWA SIVA

MAKNA ATRIBUT DEWA SIVA
           
            Penampilan Siva, tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada benda material di dunia, karena kebanyakan benda akan menjadi abu jika dibakar. Abu melambangkan intisari dari semua benda dan mahluk di dunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Siva memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siva dikenal dengan nama Kapardi, karena memiliki rambut merah dan digelung tersebut. Siva juga dinyatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (trinetra), Phalanetra, Agilocana, Trilocana, bermata tiga dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia, di tengah-tengah dahinya adalah mata ketiga, yang menggambarkan energi pengembali yang jika dibiarkan lepas menghancurkan dunia dan lain-lain, pada sumber lainya tiga mata di tengah-tengah dahi dikatakan sebagai lambang pengetahuan (jnana) disebut juga mata kebijaksanaan, karena kekuatan pandangan mata ketiga Siva menghancurkan kejahatan.
             Tuhan Siva meminum racun yang keluar dari laut memakai Ganga dan bulan dikepalanya untuk mendinginkan kepala-Nya, mata ketiga-Nya menyala, Abhiseka yang terus menerus mendinginkan matanya. Siva disebut yang bisa menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Agni. Siva menghancurkan segalanya, membawa Trisula yang memiliki tiga ujung. Trisula yang dipegang di tangan kanannya menjelaskan tiga Guna Sattva-Rajas-Tamas, yang melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini, Trisula juga dilambangkan sebagai senjata yang digunakan dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakperdulian di dunia. Dan juga merupakan lencana paling berkuasa, Ia mempergunakan dunia dengan ketiga Guna tersebut. Siva juga memiliki pedang di tangan-Nya, ini menjelaskan bahwa Ia adalah penghancur kelahiran dan kematian. Api pada satu dari tangan-Nya menunjukkan Ia melindungi Jiva dengan membakar semua belenggu. Senjatanya yang lain disebut Pinaka, oleh karena itu Siva disebut juga dengan nama Pinakapani (yang memegang Pinaka ditangannya).             Baik Siva maupun kendaraannya, Nandini berwarna putih yang menjelaskan Satsanga. Jika kamu mengadakan perkumpulan dengan orang-orang suci, kamu mencapai realisasi Tuhan, orang suci menunjukkan pada kamu jalan mencapai Siva. Warna putih menunjukkan Siva memiliki hati yang murni. Siva digambarkan memiliki 2, 2, 8 dan 10 tangan.
            Di samping memegang Pinaka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvanga, busur bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang kecil) yang menghasilkan suara bergetar, yang diletakkan pada tangan kirinya tersebut menjelaskan Sabda Brahman, ia menjelaskan OM dari mana semua bahasa dibentuk. Makna yang lainnya adalah Ia menyangga seluruh ciptaan di tangan-Nya, mengatur sesuai dengan keinginanannya. Itu adalah ia yang membentuk bahasa Sanskrit keluar dari Damaru, dan benda-benda suci lainnya. Ganga (dewi Ganga) yang menyimbulkan madu Abadi dan Ardhacandra (bulan Sabit) yang menunjukkan bahwa Ia telah mengontrol pikiran secara sempurna bertengger pada kepalanya, juga melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada di dalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah kenyataan yang abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diri-Nya oleh karena itu disebut juga gangadhara dan Candracuda. Siva digambarkan duduk di atas kuburan, yang melambangkan kemutlakannya mengendalikan kelahiran dan kematian. Kalung bung yang terbuat dari untaian tengkorak manusia melingkar di lehernya. Siva mengenakan bhusana (kain) dari kulit macan dan kulit gajah untuk selimut (blanket) Nya, yang menunjukkan bahwa Ia telah mengontrol kebanggaan, di lengannya bergelayutan beberapa ekor ular sebagai hiasan. Di dalam kitab-kitab Purana kita mendapatkan informasi tentang Sang Hyang Siva memperoleh berbagai hiasan tersebut. Istri para rsi terpikat pada Siva, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti orang yang meminta-minta. Para rsi sangat marah terhadap Siva atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang digali, muncul seekor harimau, Siva membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya, kulit harimau menjelaskan tentang nafsu, Ia menduduki kulit harimau menandakan Ia telah menang melawan nafsu. Seekor menjangan mengikuti harimau muncul di lobang itu, lalu Siva memegang binatang itu dengan tangan kirinya, menunjukkan bahwa Ia telah menghilangkan Chancalata (kesana-kemari) pikiran. Selanjutnya muncul dari lobang itu tongkat besi panas berwarna merah, kemudian Siva mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terakhir dari lobang muncul beberapa ekor ular kobra dan Siva mengambil ular dan mengenakannya sebagai hiasannya, ini menunjukkan bahwa Siva secara mutlak tanpa takut dan abadi karena ular hidup untuk lama.
            Suatu hari raksasa yang bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah  dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siva. Siva muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari Siva mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia dikenal dengan nama Nagajundala. Brahma meminta kepada Rudra untuk memciptakan manusia, dan permintaan itu dipenuhinya, tetapi manusia ciptaanya menjadi manusia yang sangat bengis. Brahma khawatir terhadap mahluk itu akan memakan mahluk-mahluk lainnya. Brahma yang gemetar karena ketakutan meminta kepada Rudra untuk menghentikan penciptaan manusia itu dan meminta menciptakan yang lain. Selanjutnya rudra mulai mempraktekkan tapa.

Kristalisasi Sekte-Sekte di Bali yang Menjadi Sekte Siwasidhanta dalam Bentuk panca Yadnya
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
1.   Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.

2. Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.

3.  Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.

4. Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.

5.   Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.

6. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.

7.   Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.

8.   Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.

9. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.

BUKTI KRISTALISASINYA DENGAN PANCA YADNYA
Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari: 
1.                  Dewa Yadnya.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya. Upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan, misalnya:
1). Pada hari raya yang berdasarkan pawukon yaitu, Hari senen pon, wuku di sebut Hari soma Ribek. Hari ini sebagai pemujaan kehadapan Dewi Sri (Sekte Waisnawa). Pelaksanaan pemujaannya dengan jalan menghaturkan upacara di lumbung serta penyimpanan beras (pulu) berupa: nyahnyah geringsing, geti-geti, disertai dengan pisang mas, serta wangi-wangian. Yang juga patut dilaksanakan pada hari ini adalah mendalami ajaran-ajaran kerohanian dan dianjurkan pada hari ini tidak tidur disiang harinya. Hari rebo kliwon wuku sinta, disebut budha kliwon pagerwesi, hari ini adalah hari payogannya Sang Hyang Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru di sertai oleh para Dewa, menciptakan dan mengembangkan kelestarian kehidupan didunia ini. Para pendeta (Sekte Rsi) pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan weda apasang lingga, memuja kehadapan Sang Hyang Pramesti Guru. Upakaranya : Suci 1, daksina 1, pras penyeneng, sesayut panca lingga, penek, ajuman, serta buah-buahan, wangi-wangian, serta kelengkapannya. Upakara tersebut dipersembahkan disanggah kemulan. Untuk umat/anggota keluarga natab sesayut pageh urip, dan prayascita. Pada tengah malam hendaknya melaksanakan yoga Samadhi. Di halaman rumah menghaturkan segehan (sekte bairawa). Hari rebo paing wuku kuningan, hari ini adalah puja wali Bhatara Wisnu (Sekte waisnawa) upakaranya: sedah ingapon, putih ijo, jambe, 26 tumpeng ireng, serta kelengkapannya. Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan disanggah/merajan masing-masing diakhiri dengan persembahyangannya.
2). Hari raya yang berdasarkan panca wara, hari Selasa kliwon, disebut Anggara Kasih. Hari ini adalah hari payogannya Bhatara Rudra beliauberyoga untuk menghilangakan kekotoran alam semesta. Bagi umat hindu dianjurkan juga untuk melaksanakan yoga untuk menghilangkan mala petaka dan rintangan yang ada pada diri sendiri. Upakara yang dipersembahkan antara lain: canang lenga wangi burat wangi, dipersembahkan disanggar dan dipelangkiran diatas tempat tidurdan dilanjutkan dengan mohon air suci/tirta (Sekte Waisnawa). Adapun makna yang terkandung dari canang itu sendiri adalah plawa sebagai perlambang ketenangan dan kesucian hati, reringgitan dari janur melambangkan kelanggehan dan kesungguhan hati, Sirih pada porosan melambangkan Hyang Wisnu (Sekte Waisnawa), kapur melambangkan Hyang iswara (Sekte Siwa), pinang melambangkan Hyang Brahma (Sekte Sora). Pemujaan pada waktu Gerhana Bulan, adalah pertemuannya pada satu garis lurus antara bulan dan matahari. Dianjurkan agar melaksanakan tapa diyana, Samadhi, dan membaca ceritra-ceritra yang utama seperti parwa-parwa dan sejenisnya dihlaman rumah, sambil memuja sang Hyang Surya Chandra (Sekte Sora).
2.                  Bhuta Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Agung (Sekte Bairawa), dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Persembahan dalam Bhuta Yadnya itu didominasi oleh pengaruh Sekte Bairawa, contohnya: upacara pecaruan yang sebagian besar menggunakan binatang dan darah binatang, hal ini dilakukan untuk membersihkan alam dari energi negative dan untuk menyeimbangkan segala yang ada di dunia ini, ini juga merupakan bagian dari Sekte Gonapatya.
3.                  Rsi Yadnya.
Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru (Sekte Brahmana) yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk: 
1). Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2). Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3). Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4). Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5). Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
Dalam melaksanakan suatu upacara yang besar, seperti tawur kesanga, Panca walikrama, eka dasa rudra biasanya yang akan muputadalah Tri Sadaka. Sang Tri sadaka yang dimaksud adalah sulinggih siwa, budha atau sering juga diucapkan sang Resi, Siwa Sogata ketiga sulinggih ini  mempunyai wewenang khusus, yaitu :
1). Sang Sulinggih Siwa, sebagai pembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa. Melalui pujanya sang sulinggih siwa berwenang menghaturkan munggah kesanggar surya (Sekte Sora) yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih siwa berasal dari masab siwa (Sekte Siwa). Artinya sang sulinggih siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan kekuatan sang hyang widhi.
2). Sang sulinggih Buddha, memperse4mbahkan atau menghaturka yadnya pada alam tengah atau awing-awang. Sang sulinggih Buddha berasal dari masab Buddha (Sekte Bodha) yang memiliki keahlian menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekutan suci hyang widhi dengan kekuatan buta kala yang telah di somya di alam bawah.
3). Sang sulinggih Rsi, Bhujangga, Sengghu, beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau menyucikan alam bawah dan untuk nyupat Buta-kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta kala sehingga menjadi somya.
4.                  Pitra Yadnya.
lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti: 
1). Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
2). Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
3). Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
Upakara bebanten termasuk Drwaya Yadnya. Bentuk bebanten dan sarana yang dipakai dalam Pitra yadnya, menurut sifatnya wujud kesatuan yang harmonis dari berbagai unsur Hinduisme, yakni : Sambu, Brahma (Sekte Sora), Indra, Wisnu (Sekte Waisnawa), Bayu, Kala (Sekte Bairawa), Ciwa (Sekte Siwa), dan Budha (Sekte Bodha).
5.                  Manusa Yadnya.
Manusa Yadnya dalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, bila diperhatikan pelaksanaan upacara-upacara tersebut terutama di Bali, ada 4 rangkaian acara, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, menjadi satu kesatuan, yaitu:
1). Mabyakala (Mabyakaonan)
            Sebenarnya acara ini tidak hanya dilaksanakan dalam upacara manusa yadnya melainkan juga dalam upacara panca yadnya sebagai pendahuluan dan bertujuan membari korban, memisahkan Bhuta Kala (unsure kekuatan alam) (Sekte Bairawa) yang tidak sepatutnya berada pada tempat upacara. Setelah menerima korban berupa sesajen/banten, diharapkan akan pergi meninggalkan tempat atau orang yang akan diupacarai, tidak mengganggu sebaliknya memberi restu dan keselamatan. Upakara/banten yang digunakan dinamakan “byakala” dilengkapi dengan “prayascita”.
2). Melukar dan Mejaya-jaya
            Upacara ini bertujuan membersihkan lahir bhatin seseorang secara spiritual. Lahir dibersihkan dengan air kelapa muda (kelungaah), air yang telah dipujai (tirtha) (Sekte Waisnawa), sedangkan bhatin dibersihkan dengan mantra (doa pejaya-jayaan) yang dipimpin oleh  oleh sang sulinggih yang sederajat dengan beliau, bertempat dimerajan/salah satu bangunan yang biasa digunakan untuk upacara agama (Sekte Brahmana).
3). Ngayab/Natab
            Upakaranya disebut “banten ayaban/tataban”,dalam pelaksanaanya banten tersebut dipersembahkan kehadapan para dewa agar berkenan menerima serta memberkahi orang yang sedang diupacarai. Di dalam lontar Anggastiyaprana disebutkan bahwa jasmani manusia ditempati oleh kekuatan para dewa, misalnya: hati ditempati oleh dewa Brahma (Sekte Sora).
4). Bersembahyang (muspa)
            Acara ini yang dilakukan setelah mabyakala tetapi sebelum melukat/mejaya-jaya dan ada juga yang dilakukan setelah natab. Dalam tulisan ini acara muspa dibagi menjadi dua yaitu:
  1. Muspa yang dilakukan setelah mebyakala, bertujuan untuk memohon waranugraha persaksian bahwa seseorang akan melaksanakan upacara. Persembahyangn ditujukan kepada Sang Hyang Siwa Raditya (Bhatara Surya) (Sekte Sora) sebagai saksi, kehadapan para leluhur, serta Hyang Guru Kemulan (Bhatara Hyang Guru), untuk mohon restunya.
  2. Muspa setelah acara ngayab yaitu sebagai acara akhir/penutupan, bertujuan untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, para Dewa dan para Leluhur untuk mohon berkah yang disimbulkan dengan “Wangsuh Pada” dan Bija (Sekte Waisnawa).
Susunan Upakara misalnya saya ambil contoh upakara yang terkecil (nistaning nista), yaitu :
a). Untuk memohon pengelukatan yaitu, peras, ajuman, daksina, canang lengawangi-buratwangi, dan pebersihan
b).   Untuk pengelukatan yaitu, periuk tanah yang baru berisi air pancuran, bunga 11 jenis, bunga tunjung/teratai beserta dunnya, dilengkapi ujung cabang bunut, ancak, beringin masing-masing taga buah dan samsam daun dap-dap, daun temen serta bija kuning. Air (Sekta Waisnawa) akan dipujai oleh Sulinggih (Sekte Brahmana) kemudian dipakai ngelukat orang yang hamil. Pelaksanaanya bersamaan dengan saat “nyurya Sewana” (Sekte Sora).
      Dalam manusa yadnya menggunakan banten seperti : Banten Pagedongan Matah yaitu, sebuah bakul diisi tampak, beras (Sekte Waisnawa), kelapa, telur, ketan, injin, beras merah, pisang mentah, tingkih, pangi, bija-ratus, gantusan, pelawa peselan, base tampel, benang putih dan lain-lain seperti isi daksina masing-masing satu biji.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.

Simpulan
Dalam Panca Yadnya tentunya persembahan selalu di ikuti dengan persembahyangan dimana kramaning sembah surya merupakan perwujudan dari Sekte Sora menggunakan api berupa dupa (Sekte Brahma) setelah itu diakhiri dengan nunas tirta (air suci)/ bija merupakan perwujudan Sekte Waisnawa dimana Sang Yajamana mewujudkan Tuhan dengan simbul berupa Lingga, ini merupakan perwujudan dari Sekte Pasupata dan dengan mediator seorang Sulinggih, ini merupakan perwujudan dari Sekte Brahmana dan Rsi. Dalam upacara Panca Yadnya dalam sebuah Banten pasti menggunakan daging, biyasanya menggunakan daging ayam, ini merupakan perwujudan dari Sekte Bairawa. Jadi jelas pula bahwa Kristalisasi Sekte-Sekte di Bali yang Menjadi Sekte Siwasidhanta dalam Bentuk panca Yadnya memang benar ada dan masih kita lakukan sampai sekarang. Namun pada saat ini Sekte yang paling mendominasi pada kalangan masyarakat Hindu Bali adalah Sekte Sora dan Sekte Waisnawa, karena pada setiap kegiatan persembahyangan atau upacara keagamaan psati menggunakan Api (dupa) dan air (Titra).

Refrensi

Mas Putra, Ny I Gusti Agung. 2000. Panca Yadnya. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.

Pasek Gunawan, I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Singaraja.

Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita.

Disadur dari artikel "Jejak Panjang Bhujangga Waisnawa" .

Majalah Gumi Bali Sarad No. 99/ Tahun IX Juli 2008.


foto oleh:(http://1.bp.blogspot.com)


0 komentar: