KESUSASTRAAN DAN AJARAN-AJARAN YOGA DARSANA
A. Kesusastraan Yoga Darsana
Yoga
berasal dari yuj, yang artinya adalah penyatuan atau menghubungkan yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah penyatuan roh individu (jiwatman) dengan roh
universal (paraatman). Arti kata yang sama juga datang dari sivananda, yang
mengatakan kata yoga yang berasal dari akar kata “yug” yang artinya
“menghubungkan”. Yoga merupakan pengendalian akltifitas pikiran dan merupakan
penyatuan “roh pribadi dengan roh tertinggal” (sivananda 2003:2004).
Yoga sutra merupakan buku Rsi
Patanjali adalah buku acuan tertua dari aliran filsafat yoga. Bernard
mengatakan bahwa yoga sutra terdiri dari 4 Bab. Bab I yaitu samadhipada,
terdiri dari lima puluh aphorisme, membicarakan tentang seni Yoga,
sekaligus pula menjelaskan tentang cara pencapaiaan tujuan tersebut (Samadhi).
Bab III yang disebut dengan Vibhutipada, terdiri dari lima puluh empat
abhorisme, memberikan uraian tentang kekuatan (daya-daya) supra alami yang
dapat dicapai melalui pelatihan Yoga. Dalam sistem filsafat Hindu (sarva
darsana samgraha) sebutan “ supra alami” diartikan “siddhi”
(maswinara,1999:164). Sedangkan pada Bab IV disebut dengan Kaivalyapada,
terdiri atas tiga puluh Abhorisme, membicarakan pembebasan sebagai tujuan
terakhir manusia.
Dalam intisari ajaran hindu (dialih
bahasakan dari All Abaout Hinduism) menjelaskan Bab ke empat sebagai sifat dari
pembebasan tersebut. Bahkan dalam materi pokok Darsana selain menyebutkan ke
empat Bab yang ada dalam Yoga sutra, juga menyebut adanya 194 sutra
(Sumawa,dkk,1995:166). Perkembangan menunjukkan bahwa pentingnya buku Yoga
sutra terbukti dari banyaknya komentar yang telah diberikan. Komentator yang
terkemuka adalah ditulis oleh Vyasa dalam Vyasa Bhasya dalam abad keenam
atau ketujuh SM, disusul Vacaspati yang mengomentari tentang daftar
istilah (tattvavaisaradi) yang ada dalam Vyasa Bhasya. Lebih lanjut
komentar dari Vijnanabhiksu yamg menulis tentang Yoga vartika,
dan Yogasarasamgraha. Mereka ini berupaya untuk membawa sistem yoga
lebih dekat kepada filsafat upanisad.
Kapan Patanjali lahir tidak diketahui
secara pasti. Namun diperkirakan antara th 200 SM sampai 400 AD (Madrasuta,
Renny, 2002:74).
Yang perlu diingat bahwa pelaksanaan
ajaran Yoga hendaknya mampu memberikan vivekajnana, pengetahuan untuk
membeda-bedakan yang salah dan yang benar sebagai suatu kondisi untuk mencapaai
kelepasan. Pelaksanaan kelepasan bisa dicapai melalui pengetahuan langsung
mengenai perbedaan Roh dan dunia jasmani (badan, pikiran, rasa ego. Kita
hendaknya menyadari bahwa keterpisahan kita dengan Tuhan, keterjauhan kita dari
beliau bukanlah beliau yang menghendaki demikian, bukan beliau ingin menjauhkan
umatnya, melainkan kitalah yang tanpa kita sadari membuat jarak yang jauh dengan beliau.
Thema sentral yoga patanjali adalah
tetap teguh menganjurkan pengendalian atas proses pikiran, menekankan upaya
untuk memperoleh kendali atas pikiran. Thema utama yang lain meliputi
pengembangan dari suatu kemampuan untuk mencerna perbedaan antara yang bijaksana
(the seer, diri sejati yang tidak berubah, disebut sebagai drashtri,
atman atau purusha) dan yang kelihatan (the seen, wilayah manifestasi
dan perubahan, disebut sebagai drishya, parimana atau prakerti).
Ketika seseorang mampu menguasai
pikiran dan berada dalam keadaan “penglihatan murni” (pure seeing)
maka ia dikatakan isolasi (kivalya), bebas dari pengaruh negatif (akliha
karma). Juga disebut terserap dalam awan kebajikan (dharma megha samadhi)
(Madrasuta, Renny, 2002.67).
B. Ajaran – Ajaran Yoga Darsana
Ada beberapa bahasan mengenai
ajaran-ajaran Yoga Darsana diantaranya sebagai berikut :
a. Tentang Penciptaan Alam Semesta
Evolusi
merupakan hasil dari gerak atau perkembangan pertama dari sesuatu. Ajaran Samkya-Yoga
mengenal adanya dua asasi yang paling mendasar disebut purusa dan prakerti.
Antara purusa dan prakerti terdapat suatu kekuatan saling tarik menarik (magnistis)
yang memang telah ada pada setiap prakerti sebagai asas yang tidak memiliki
kesadaran (bendani). Ibarat hubungan antara elektron dengan proton pada
aliran listrik yang mampu menimbulkan api listrik. Demikian pertemuan dengan
prakerti mampu melahirkan sesuatu wujud. Ini sebagai akibat adanya perkembangan
dari prakerti setelah adanya pertemuan dengan purusa. Dengan pertemuan (samyoga)
antara prakerti dengan purusa terjadi evolusi. Evolusi terjadi
demikian I Gusti Agung Oka dalam buku Sad Darsana mengatakan, setelah adanya samyoga
purusa dengan prakerti yang dengan sendirinya mengubah keseimbangan yang ada
semula, dan berubah menjadi gerak (Oka, 1968:16).
Filsafat Yoga sering disamakan dengan
filsafat Sankya, karena mengakui adanya dua unsur (dualisme) purusa dan
prakerti. Perbedaannya, Sankya tidak pernah dalam ajarannya mengemukakan
eksistensi Tuhan. Dengan perkataan lain Sankya tidak mengakui keberadaan Tuhan
meski ia mengakui kewenangan Veda. Ada dalam kelompok astika serta mengakui
kehidupan di akhirat. Oleh karenanya Sankya disebut ajaran nir iswara sankya.
Sedangkan Yoga disebut sa Iswara, percaya bahwa Tuhan adalah satu-satu
obyek termulia dan tertinggi untuk dikonsentrasikan, karena beliau maha
sempurna, maha tahu, maha adil, maha agung, maha pengasih dan lain sebagainya
(Oka, 1968:34).
Yang amat penting ialah pelaksanaan
ajaran Yoga sebagai jalan memperoleh vivekajnana yaitu pengetahuan untuk
membeda-bedakan antara yang salah dan benar sebagai kondisi kelepasan. Hampir
semua filsafat Hindu mengenal ajaran Yoga. Ajaran Yoga sudah tua umurnya. Hal
ini ternyata bahwa ajaran Yoga sudah ada dalam Upanisad, begitu juga dalam ajaran
Smrti dan Purana. Pelaksanaan ajaran Yoga adalah jalan yang sebaik-baiknya
untuk mencapai tujuan itu. Yoga mengajarkan bahwa kelepasan itu dapat dicapai
melalui pengetahuan langsung tentang perbedaan roh dengan dunia jasmani ini
termasuk badan, pikiran dan sifat aku. Hal ini dapat diwujudkan melalui
pengendalian fungsi badan, indria, pikiran, rasa aku dan sebagainya. Dan
menyadari adanya roh yang mengatasi segalanya. Roh yang demikian itulah purusa
namanya. Hal ini menyatakan bahwa roh itu kekal abadi, bebas dari penderitaan
dan kematian.
Yoga
menunjukkan jalan yang praktis untuk mengalami kenyataan roh yang demikian.
Jalan ialah dalam bentuk penyucian diri dan pemusatan pikiran. Yang mengantar
orang untuk dapat membedakan roh dan dunia jasmani, purusa dan mendasar,
disebutKini terjadi interaksi diantara badan penyebab (karana sarira) dan
prakerti (materi). Yang dimaksud dengan prakerti adalah bukan materi
dalam arti kebendaan fisika-kimia. Oleh Svami Satya Prakash Sarasvati
menamakannya materi asli (Polak, 1996:9).
Jadi Prakerti merupakan unsur yang
lebih abstrak dan yang menjadikan dasar segenap susunan unsur psiko-biologis,
yang dikenal sebagai suatu keseimbangan dari tiga guna (sidat paling asli)
yaitu Satwa, Rajas dan Tamas, prakerti ada bersama dengan tuhan untuk
merancang segenap penciptaan yang memiliki Nama (nama0 dan Rupa (bentuk)
Evolusi awal dari prakerti menurut filsafat sankhya adalah mahat.
Ada
perbedaan antara ajaran Yoga dengannya Sankhya.
Ini dapat dilihat pada ajarannya tentang penciptaan alam semesta.Ajaran Yoga
menjelaskan adanya dua azas pokok dalm penciptaan alam semesta disebut purusa
dan prakerti. Demikian juga dalam ajaran sankhya mengemukakan penciptaan
itu mendasarkan pada dua puluh lima(25) prinsip atau tatwa, maka ajaran yoga
dengan dua puluh enam tatwa, yakni menempatkan Iswara sebagai yang
tertinggi dan pembimbing, serta menggerakkan purusa dan prakerti untuk saling
bertemu.
Ke 25 tatwa itu adalah purusa dan
prakerti 2 tatwa, mahat (budhi) I tatwa, manas I tatwa, ahamkara I tatwa, panca, Inanendriya,
dan panca Karmendriya, 10 tatwa, panca, Tanmatra 5 tattawa, panca Mahabhwa 5
tatwa (Oka 1968;49). Patanjali sepakat dengan itu, hanya saja ada azas yang
paling tinggi yang menggerakan pertemuan purusa dengan prakerti yaiti
Iswar.a Apek yang lain yang menujukkan ketidaksamaan itu adalah evolusi
awal Prakerti disebut citta yang dalam ajaran Sankhya disebut mahat.
Yoga menerima pandangan metafisika
dari disiplin samkya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktisnya guna
realisasi dari pnyatuan mutlak purusa atau sang diri. Roh pribadi dalam system
yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat mencapai pembebasan dan
dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Kalu sisitem samkhya menetapkan
bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan, maka dalam system
yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi dan Samadhi akan membawa kepada
kavilya atau kemerdekaan. System yoga mjuga menganggap bahwaproses yoga juga
terkandung dalam kesan-kesan dari keaneka ragaman fungsi mental dan konsentrasi
dari energi mental pada purusa yang mencerahi dirinya.
b. Citta dan Tri
Guna Dalam Ajaran Yoga
Dalam ajaran Yoga, alam pikiran
disebut Citta, secara evolusi dipandang sebagai kelahiran oertama dan
perkembangan prakerti. Di dalamnya terdapat budhi, ahamkara, dan
manas. Ia pada dasarnya sifatnya tidak sadar, mendapat pantulan dari
purusa, maka ia menjadi sacar dan memiliki bergam fungsi. Dalam kondisi ini satwa
lebih berkuasa dari pada dua unsur tri guna lainnya (rajas dan tamas). Ia dapat di gambarkan,
mengambil beragam rupa sehingga rupa-rupa yang terjadi itu menyusun
gerakan-gerakan pikiran ini bisa berubah-ubah. Perubahan perubahan itu disebut gelombang-gelombang
pikiran atau kisaran-kisaran pikiran Kalau citta memikirkan tentang
kebakaran, maka gelombang-gelombang atau gerakan-gerakan pikiran (virittis)
tentang kebakaran akan terbentuk dalam lautan citta. Namun ia akan
berangsur-angsur surut apabila citta telah memikirkan hal-hal yang lain,
sehingga vritis yang baru muncullah inilah yang disebut dalam sistem Yoga bisa
mengembang sesuai dengan gelombang-gelombang pikiran. Pada binatang ia hanya
bisa mengecil saja(sumawa,dkk,1995,268)Kalau ia berhubungan dengan tubuh
disebut karya citta.
Menyusutnya
karena citta pada manusia diberikan pita tape recorder yang apabila hendak
merekan suara yang baru di atas pita yang sama, maka suara yang terekam
sebelumnya akan hilang sendirinya. Pada
awal penciptaan dan melahirkan citta dimaksudkan ada gabungan didalamnya yakni budhi
ahamkara dan manas menimbulkan juga keseimbangan citta nenjadi ‘gerak’ atau ’aktivitas’. Pada saat inilah purusa
seolah-olah berbahagia atau menderita. Rajas
sebagai salah satu unsur yang membangun tri guna terangsang dalam perkembangan
itu, hal ini pada megoncangkan keseimbangan sattwa dan tamas. Pada diri manusia
tiga gunas ini tidak pernah lepas dari saling mempengaruhi, meskipun ketika
membangun prakerti berada dalam keadaan seimbang, sehingga tidak mengherankan
dalam manusia. Salah satu dari yang mampu mengungguli yang lainnya akan
menampakkan temperamen manusia meskipun tidak permanent.
Pergolakan tiga guna juga cendrung
membawa manusia padasamsara. Dengan samsara pula manusia cendrung mengalami
penderitaan atau kebahagiaan. Ini bergantung pada wiwekajnana,
pengetahuan untuk membedakan jiwa dengan product (bendani) dan
klase-klase pada dirinya seperti kebodohan (avidya) menyamakan Roh dengan
jasmani pikiran dan prasaan (asmita),dan rasa takut untuk mati (abhinewesa).
c. Hubungan
Roh dengan citta
Hubungan
citta dengan Roh sangat dekat
begitu dekatnya dapat memantulkan kesadaran Roh, sehingga tampaknya ia (alam
pikiran) seperti memiliki kesadaran dan kecakapan (intelegensi). Ketika citta mulai
berhubungan dengan obyek dunia melalui manah, maka
ia mulai mengenal obyek itu, sehingga apa yang terwujud dalam citta itu citta
memikirkan dan mengenal suatu obyek yang baru. Pada saat dan menyesuaikan diri denfan
obyek tersebut, maka roh pun mengenal obyek melalui perubahan-perubahan citta.
Tentang perubahan citta banyak
jenisnya karena itu diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu
a) Pramana yaitu
pengamatan yang benar
b) Wiparyaya,
yaitu pengamatan yang salah.
c) Wikalpa yaitu
pengamatan hanya dalam kata-kata.
d) Nidra yaitu
tidur.
e) smrti yaitu ingatan.
Bila citta atau alam pikiran
diubah kedalam jenis gerakan-gerakan pikiran (vrittis) maka roh pun di
pantulkan pada keadaan itu, suatu keadaan yang disebabkan oleh adanya perubahan
citta Dengan perkataan lain citta mengalami perubahan, maka roh pun
dipantulkan pada keadaan itu, dan bisa jadi keadaan itu dikatakan sebagai
keadaannya sendiri. dengan demikian roh pun memandang dirinya mengalami
kelahiran , kematian, tidur, terjaga,berbuat salah, benar dan sebagainya, meski
ia sendiri mengatasi segalanya. Ketika
Roh memasuki badan jasmani, menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang
disemangati oleh roh itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan
yakni awidya, asmita,
raga, dewasa, dan abhinewesa.
d. Pramana
Filsafat Yoga dalam pandangan
epistimologinya memanfaatkan tiga peranan untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar, ketiga peranan itu adalahpratyaksa pramana(persepsi),anumana pramana (inferensi)
dan sabda pramana (testimoni verbal).
Pun pengamatan yang dilakukan melalui persepsi sama
dengan yang dilakukan oleh ajaran filsafat sankhya, yakni nirvikalpa (persepsi tidak pasti
yakni pengamatan yang tidak menentukan, dan savikalpa (persepsi
yang pasti, atau yang menentukan). Kedua
pengamatan ini akan memberikan hasil penjelasan yang berbeda, karena pada persepsi
tidak pasti tidak perlu pengenalan suatu obyek melalui proses yang sedetail
mungkin sebagaimana dilakukan dalam savikalpa melalui suatu analisis, sehingga mendatangkan
hasil yang analisis, sintesis dan interprestasi alam pikiran, melalui
penganalisan, sintesis dan interprestasi alam pikiran melalui penganalisan,
sintesis dan interprestasi, segala pengamatan yang tidak pasti, kabur,akan
menjadi jelas.
Ajaran filsafat yoga menjelaskan
ketika indrya menerima suatu obyek diluar dirinya tanpa itu disampaikan kepada manas. Kemudian dari pengamatan-pengamatan itu
disusun masalah-masalah hingga menjadi sintesis dan menentukan sifat-sifat
pengamatan itu, apakah ia nirvikalpa atau savikalpa.
e. Pandangan
tentang Tuhan
System
filsafat Yoga patanjali, yang ajarannya bersifat theis, mengakui Tuhan
satu-satunya obyek termula, dan tertinggi. Oleh karna itu patanjali juga
komentarnya berpandangan Tuhan bukan saja konsep dalam penciptaan tapi juga
dalam praktek, dalam pemahaman tentang kebradaannya, yakni melalui
tahapan-tahapan pelatihan yoga. Oleh
karna itu system filsafat Yoga selain theis, ia juga bersifat teoritis
dan praktis. Sebagai
pusat konsentrasi pikiran, Tuhan sering dipandang sebagai yang Maha Mulia, Maha Agung, Maha
sempurna, bebas dari penderitaan , mengatasi jiwa penerangan, purusa dan
prakerti.
Untuk membuktikan pandangannya tentang
eksistensi Tuhan dan ajarannya yang theis patanjali mengemukakan
argumentasinya sebagai berikut.a
a) Ia
percaya adanya tingkatan di dunia ini Oleh karna itu ia memerlukan suatu
tingkatan yang maksimum. Misalnya ada sesuatu yang baik, ada yang lebih baik,
dan yang paling baik dan paling sempurna. Yang tersebut trakhirlah yang paling
maksimum yang tiada lain adalah Tuhan karenanya Beliau diistilahkan sebagai
yang maha sempurna,Maha tahu, maha adil dan sebagainya.
b) Hal
ini tidak bertentangan dengan pernyataan kitab suci veda, upanisad, dan
kitab suci lainnya , bahwa tuhan dipandang sebagai jiwa yang maha agung,
sempurna, realitas, yang utama dan menjadi tujuan trahir dari segala yang
ada di dalam alam semesta ini.
c) Memang
benar ada purusa dan prakerti Dua azas ini ibarat orang buta dengan
orang lumpuh pertemuan kedua azas ini (di antara keduanya ) memerlukan
pembingbing, penghubung, prantara, yang tidak lain adalah Tuhan, sehingga
terwujud alam semesta.
Dengan argumentasi ini, maka patanjali
bukan saja ingin membuktikan kebradaan
Tuhan melalui tiori ajaran filsafatnya, tetapi juga melalui praktek
yoga. Oleh karna itu ketika tahapan-tahapan pelatihan yoga dilakukan,
konsentrasi utama pikiran ditunjukkan kepada tuhan. Menurut Patanjali,
Tuhan merupakan purusa istimewa atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh
kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya
merupakan batas tertinggi dari benih ke-Mahatauan, yang tak terkondisikan oleh
waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dahulu.
f. Astangga
Yoga
Astangga Yoga juga merupakan ajaran Yoga yang oleh Rsi
Pantanjali merupakan Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin
pikiran dan tenaga fisik, yaitu 1. Yama
(larangan), 2. Niyama (ketaatan), 3. Asana (sikap badan), 5. Pratyahara (penarikan indriya), 6. Dharana (konsentrasi), 7. Dhyana (meditasi), dan 8. Samadhi (keadaan supra sadar). Kelima
yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-anga)
dari yoga, sedangkan ketiga yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-anga) dari yoga. (Sivananda,
2003:207). Menurut aliran Raja-Yoga dan Patanjali, terdapat lima tingkatan
mental yang disebut sebagai: Ksipta, Mudha, Wiksipta, Ekagra, dan Niruddha.
Tingkatan ksipta adalah dimana pikiran mengembara diantara berbagai obyek
duniawi dan dijenuhi dengan sifat-sifat rajas. Tingkatan Mudha, pikiran ada
dalam keadaan tertidur dan tidak berdaya akibat sifat tamas. Tingkatan
Wiksipta, adalah dimana sifat sattwa melampaui dan pikiran mejadi goyang antara
menditasi dan obyek dan secara berlahan-lahan pikiran berkumpul dan bergabung.
Bila sifat sattva meningkat, kita akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan
pikiran, penaklukan indra dan kelayakan untuk perwujudan Atman. Tingkatan
Ekagra, pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam, dan sifat
sattva akan terbebas dari sifat rajas dan tamas. Tingkatan Niruddha, pikiran
dibawah pengendalian yang sempurna dan semua wrtti atau gejolak pikiran
dilenyapkan. Setiap wrtti meninggalkan suatu samskara atau kesan-kesan yang
mendalam dan dapat mewujudkan dirinya sebagai keadaan sadar bila ada
kesempatan. Apabila semua wrtti dihentikan, pikiran dalam keadaan seimbang
(samapatti).
Menurut Patanjali, avidya (kebodohan),
asmita (keakuan), raga-dwesa (suka dan benci, keinginan dan antipati), dan
abhinevesa(ketergantungan terhadap duniawi) merupakan 5 klesa besar atau
malapetaka sang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan melaksanakan yoga
secara terus menerus, tetapi tidak menghilangkannya sama sekali. Mereka akan
muncul lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan
menguntungkan. Tetapi asamprajnata
samadhi (pengalaman mutlah) menghancurkan sekaligus benih-benih dari
kejahatan ini. Awidya merupakan
penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan hasil langsung dari
awidya, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta menyelubungi pandangan
spiritual. Pelaksanaan yoga samadhi
melenyapkan awidya. (Sivananda,
2003:211)
Tujuan kehidupan adalah keterpisahan
mutlak dari purusa dengan prakerti. Kebebasan dalam yoga merupakan kawilya atau
kebebasan mutlak tersebut, dimana roh terbebas dari belenggu prakrti dan purusa
berada dalam wujud yang sebenarnya atau svarupa.
Sang roh telah melepaskan avidya melalui pengetahuan pembedaan (vivekakhyati)
dan 5 klesa terbakar oleh apinya ilmu pengetahuan sang diri tak terjamah oleh
kondisi dari Citta, dimana guna seluruhnya terhenti dan sang diri berdiam pada
intisari ilahinya sendiri. Walaupun seseorang telah menjadi seorang mukta (roh bebas), namun prakrti dan
perubahan-perubahannya tetap ada bagi orang lainnya dan hal ini dalam
perjanjian dengan system filsafat samkhya,tetap dipegang oleh system yoga ini.
0 komentar:
Posting Komentar