Rabu, 15 Januari 2014

KESUSASTRAAN DAN AJARAN-AJARAN YOGA DARSANA

KESUSASTRAAN DAN AJARAN-AJARAN YOGA DARSANA

A.      Kesusastraan Yoga Darsana
          Yoga berasal dari yuj, yang artinya adalah penyatuan atau menghubungkan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penyatuan roh individu (jiwatman) dengan roh universal (paraatman). Arti kata yang sama juga datang dari sivananda, yang mengatakan kata yoga yang berasal dari akar kata “yug” yang artinya “menghubungkan”. Yoga merupakan pengendalian akltifitas pikiran dan merupakan penyatuan “roh pribadi dengan roh tertinggal” (sivananda 2003:2004).
          Yoga sutra merupakan buku Rsi Patanjali adalah buku acuan tertua dari aliran filsafat yoga. Bernard mengatakan bahwa yoga sutra terdiri dari 4 Bab. Bab I yaitu samadhipada, terdiri dari lima puluh aphorisme, membicarakan tentang seni Yoga, sekaligus pula menjelaskan tentang cara pencapaiaan tujuan tersebut (Samadhi). Bab III yang disebut dengan Vibhutipada, terdiri dari lima puluh empat abhorisme, memberikan uraian tentang kekuatan (daya-daya) supra alami yang dapat dicapai melalui pelatihan Yoga. Dalam sistem filsafat Hindu (sarva darsana samgraha) sebutan “ supra alami” diartikan “siddhi” (maswinara,1999:164). Sedangkan pada Bab IV disebut dengan Kaivalyapada, terdiri atas tiga puluh Abhorisme, membicarakan pembebasan sebagai tujuan terakhir manusia.
          Dalam intisari ajaran hindu (dialih bahasakan dari All Abaout Hinduism) menjelaskan Bab ke empat sebagai sifat dari pembebasan tersebut. Bahkan dalam materi pokok Darsana selain menyebutkan ke empat Bab yang ada dalam Yoga sutra, juga menyebut adanya 194 sutra (Sumawa,dkk,1995:166). Perkembangan menunjukkan bahwa pentingnya buku Yoga sutra terbukti dari banyaknya komentar yang telah diberikan. Komentator yang terkemuka adalah ditulis oleh Vyasa dalam Vyasa Bhasya dalam abad keenam atau ketujuh SM, disusul Vacaspati yang mengomentari tentang daftar istilah (tattvavaisaradi) yang ada dalam Vyasa Bhasya. Lebih lanjut komentar dari Vijnanabhiksu yamg menulis tentang Yoga vartika, dan Yogasarasamgraha. Mereka ini berupaya untuk membawa sistem yoga lebih dekat kepada filsafat upanisad.
          Kapan Patanjali lahir tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan antara th 200 SM sampai 400 AD (Madrasuta, Renny, 2002:74).
          Yang perlu diingat bahwa pelaksanaan ajaran Yoga hendaknya mampu memberikan vivekajnana, pengetahuan untuk membeda-bedakan yang salah dan yang benar sebagai suatu kondisi untuk mencapaai kelepasan. Pelaksanaan kelepasan bisa dicapai melalui pengetahuan langsung mengenai perbedaan Roh dan dunia jasmani (badan, pikiran, rasa ego. Kita hendaknya menyadari bahwa keterpisahan kita dengan Tuhan, keterjauhan kita dari beliau bukanlah beliau yang menghendaki demikian, bukan beliau ingin menjauhkan umatnya, melainkan kitalah yang tanpa kita sadari membuat jarak yang  jauh dengan beliau.
          Thema sentral yoga patanjali adalah tetap teguh menganjurkan pengendalian atas proses pikiran, menekankan upaya untuk memperoleh kendali atas pikiran. Thema utama yang lain meliputi pengembangan dari suatu kemampuan untuk mencerna perbedaan antara yang bijaksana (the seer, diri sejati yang tidak berubah, disebut sebagai drashtri, atman atau purusha) dan yang kelihatan (the seen, wilayah manifestasi dan perubahan, disebut sebagai drishya, parimana atau prakerti).
          Ketika seseorang mampu menguasai pikiran dan berada dalam keadaan “penglihatan murni” (pure seeing) maka ia dikatakan isolasi (kivalya), bebas dari pengaruh negatif (akliha karma). Juga disebut terserap dalam awan kebajikan (dharma megha samadhi) (Madrasuta, Renny, 2002.67).

B.      Ajaran – Ajaran Yoga Darsana
          Ada beberapa bahasan mengenai ajaran-ajaran Yoga Darsana diantaranya sebagai berikut :
a.       Tentang Penciptaan Alam Semesta
          Evolusi merupakan hasil dari gerak atau perkembangan pertama dari sesuatu. Ajaran Samkya-Yoga mengenal adanya dua asasi yang paling mendasar disebut purusa dan prakerti. Antara purusa dan prakerti terdapat suatu kekuatan saling tarik menarik (magnistis) yang memang telah ada pada setiap prakerti sebagai asas yang tidak memiliki kesadaran (bendani). Ibarat hubungan antara elektron dengan proton pada aliran listrik yang mampu menimbulkan api listrik. Demikian pertemuan dengan prakerti mampu melahirkan sesuatu wujud. Ini sebagai akibat adanya perkembangan dari prakerti setelah adanya pertemuan dengan purusa. Dengan pertemuan (samyoga) antara prakerti dengan purusa terjadi evolusi. Evolusi terjadi demikian I Gusti Agung Oka dalam buku Sad Darsana mengatakan, setelah adanya samyoga purusa dengan prakerti yang dengan sendirinya mengubah keseimbangan yang ada semula, dan berubah menjadi gerak (Oka, 1968:16).
          Filsafat Yoga sering disamakan dengan filsafat Sankya, karena mengakui adanya dua unsur (dualisme) purusa dan prakerti. Perbedaannya, Sankya tidak pernah dalam ajarannya mengemukakan eksistensi Tuhan. Dengan perkataan lain Sankya tidak mengakui keberadaan Tuhan meski ia mengakui kewenangan Veda. Ada dalam kelompok astika serta mengakui kehidupan di akhirat. Oleh karenanya Sankya disebut ajaran nir iswara sankya. Sedangkan Yoga disebut sa Iswara, percaya bahwa Tuhan adalah satu-satu obyek termulia dan tertinggi untuk dikonsentrasikan, karena beliau maha sempurna, maha tahu, maha adil, maha agung, maha pengasih dan lain sebagainya (Oka, 1968:34).
          Yang amat penting ialah pelaksanaan ajaran Yoga sebagai jalan memperoleh vivekajnana yaitu pengetahuan untuk membeda-bedakan antara yang salah dan benar sebagai kondisi kelepasan. Hampir semua filsafat Hindu mengenal ajaran Yoga. Ajaran Yoga sudah tua umurnya. Hal ini ternyata bahwa ajaran Yoga sudah ada dalam Upanisad, begitu juga dalam ajaran Smrti dan Purana. Pelaksanaan ajaran Yoga adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan itu. Yoga mengajarkan bahwa kelepasan itu dapat dicapai melalui pengetahuan langsung tentang perbedaan roh dengan dunia jasmani ini termasuk badan, pikiran dan sifat aku. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengendalian fungsi badan, indria, pikiran, rasa aku dan sebagainya. Dan menyadari adanya roh yang mengatasi segalanya. Roh yang demikian itulah purusa namanya. Hal ini menyatakan bahwa roh itu kekal abadi, bebas dari penderitaan dan kematian.
          Yoga menunjukkan jalan yang praktis untuk mengalami kenyataan roh yang demikian. Jalan ialah dalam bentuk penyucian diri dan pemusatan pikiran. Yang mengantar orang untuk dapat membedakan roh dan dunia jasmani, purusa dan mendasar, disebutKini terjadi interaksi diantara badan penyebab (karana sarira) dan prakerti (materi). Yang dimaksud dengan prakerti adalah bukan materi dalam arti kebendaan fisika-kimia. Oleh Svami Satya Prakash Sarasvati menamakannya materi asli (Polak, 1996:9). Jadi Prakerti merupakan unsur yang lebih abstrak dan yang menjadikan dasar segenap susunan unsur psiko-biologis, yang dikenal sebagai suatu keseimbangan dari tiga guna (sidat paling asli) yaitu Satwa, Rajas dan Tamas, prakerti ada bersama dengan tuhan untuk merancang segenap penciptaan yang memiliki Nama (nama0 dan Rupa (bentuk) Evolusi awal dari prakerti menurut filsafat sankhya adalah mahat.
          Ada perbedaan antara ajaran Yoga dengannya  Sankhya. Ini dapat dilihat pada ajarannya tentang penciptaan alam semesta.Ajaran Yoga menjelaskan adanya dua azas pokok dalm penciptaan alam semesta disebut purusa dan prakerti. Demikian juga dalam ajaran sankhya mengemukakan penciptaan itu mendasarkan pada dua puluh lima(25) prinsip atau tatwa, maka ajaran yoga dengan dua puluh enam tatwa, yakni menempatkan Iswara sebagai yang tertinggi dan pembimbing, serta menggerakkan purusa dan prakerti untuk saling bertemu.
          Ke 25 tatwa itu adalah purusa dan prakerti 2 tatwa, mahat (budhi) I tatwa, manas I  tatwa, ahamkara I tatwa, panca, Inanendriya, dan panca Karmendriya, 10 tatwa, panca, Tanmatra 5 tattawa, panca Mahabhwa 5 tatwa (Oka 1968;49). Patanjali sepakat dengan itu, hanya saja ada azas yang paling tinggi yang menggerakan pertemuan purusa dengan prakerti yaiti Iswar.a Apek yang lain yang menujukkan ketidaksamaan itu adalah evolusi awal Prakerti disebut citta yang dalam ajaran Sankhya disebut mahat.
          Yoga menerima pandangan metafisika dari disiplin samkya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktisnya guna realisasi dari pnyatuan mutlak purusa atau sang diri. Roh pribadi dalam system yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat mencapai pembebasan dan dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Kalu sisitem samkhya menetapkan bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan, maka dalam system yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi dan Samadhi akan membawa kepada kavilya atau kemerdekaan. System yoga mjuga menganggap bahwaproses yoga juga terkandung dalam kesan-kesan dari keaneka ragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada purusa yang mencerahi dirinya.

b.      Citta dan Tri Guna Dalam Ajaran Yoga
          Dalam ajaran Yoga, alam pikiran disebut Citta, secara evolusi dipandang sebagai kelahiran oertama dan perkembangan prakerti. Di dalamnya terdapat budhi, ahamkara, dan manas. Ia pada dasarnya sifatnya tidak sadar, mendapat pantulan dari purusa, maka ia menjadi sacar dan memiliki bergam fungsi. Dalam kondisi ini satwa lebih berkuasa dari pada dua unsur tri guna lainnya (rajas dan tamas). Ia dapat di gambarkan, mengambil beragam rupa sehingga rupa-rupa yang terjadi itu menyusun gerakan-gerakan pikiran ini bisa berubah-ubah. Perubahan perubahan itu disebut gelombang-gelombang pikiran atau kisaran-kisaran pikiran Kalau citta memikirkan tentang kebakaran, maka gelombang-gelombang atau gerakan-gerakan pikiran (virittis) tentang kebakaran akan terbentuk dalam lautan citta. Namun ia akan berangsur-angsur surut apabila citta telah memikirkan hal-hal yang lain, sehingga vritis yang baru muncullah inilah yang disebut dalam sistem Yoga bisa mengembang sesuai dengan gelombang-gelombang pikiran. Pada binatang ia hanya bisa mengecil saja(sumawa,dkk,1995,268)Kalau ia berhubungan dengan tubuh disebut karya citta.
          Menyusutnya karena citta pada manusia diberikan pita tape recorder yang apabila hendak merekan suara yang baru di atas pita yang sama, maka suara yang terekam sebelumnya akan hilang sendirinya. Pada awal penciptaan dan melahirkan citta dimaksudkan ada gabungan didalamnya yakni budhi ahamkara dan manas menimbulkan juga keseimbangan citta nenjadi ‘gerak’ atau ’aktivitas’. Pada saat inilah purusa seolah-olah berbahagia atau menderita. Rajas sebagai salah satu unsur yang membangun tri guna terangsang dalam perkembangan itu, hal ini pada megoncangkan keseimbangan sattwa dan tamas. Pada diri manusia tiga gunas ini tidak pernah lepas dari saling mempengaruhi, meskipun ketika membangun prakerti berada dalam keadaan seimbang, sehingga tidak mengherankan dalam manusia. Salah satu dari yang mampu mengungguli yang lainnya akan menampakkan temperamen manusia meskipun tidak permanent.
          Pergolakan tiga guna juga cendrung membawa manusia padasamsara. Dengan samsara pula manusia cendrung mengalami penderitaan atau kebahagiaan. Ini bergantung pada wiwekajnana, pengetahuan untuk membedakan jiwa dengan product (bendani) dan klase-klase pada dirinya seperti kebodohan (avidya) menyamakan Roh dengan jasmani pikiran dan prasaan (asmita),dan rasa takut untuk mati (abhinewesa).

c.       Hubungan Roh dengan citta
          Hubungan citta dengan Roh sangat dekat begitu dekatnya dapat memantulkan kesadaran Roh, sehingga tampaknya ia (alam pikiran) seperti memiliki kesadaran dan kecakapan (intelegensi). Ketika citta mulai berhubungan dengan obyek dunia melalui manah, maka ia mulai mengenal obyek itu, sehingga apa yang terwujud dalam citta itu citta memikirkan dan mengenal suatu obyek yang baru. Pada saat dan menyesuaikan diri denfan obyek tersebut, maka roh pun mengenal obyek melalui perubahan-perubahan citta.
          Tentang perubahan citta banyak jenisnya karena itu diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu
a) Pramana yaitu pengamatan yang benar
b) Wiparyaya, yaitu pengamatan yang salah.
c) Wikalpa yaitu pengamatan hanya dalam kata-kata.
d) Nidra yaitu tidur.
e) smrti yaitu ingatan.
          Bila citta atau alam pikiran diubah kedalam jenis gerakan-gerakan pikiran (vrittis) maka roh pun di pantulkan pada keadaan itu, suatu keadaan yang disebabkan oleh adanya perubahan citta Dengan perkataan lain citta mengalami perubahan, maka roh pun dipantulkan pada keadaan itu, dan bisa jadi keadaan itu dikatakan sebagai keadaannya sendiri. dengan demikian roh pun memandang dirinya mengalami kelahiran , kematian, tidur, terjaga,berbuat salah, benar dan sebagainya, meski ia sendiri mengatasi segalanya. Ketika Roh memasuki badan jasmani, menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh roh itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni awidya, asmita, raga, dewasa, dan abhinewesa.
         
d.      Pramana
          Filsafat Yoga dalam pandangan epistimologinya memanfaatkan tiga peranan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, ketiga peranan itu adalahpratyaksa pramana(persepsi),anumana pramana (inferensi) dan sabda pramana (testimoni verbal). Pun pengamatan yang dilakukan melalui persepsi sama dengan yang dilakukan oleh ajaran filsafat sankhya, yakni nirvikalpa (persepsi tidak pasti yakni pengamatan yang tidak menentukan, dan savikalpa (persepsi yang pasti, atau yang menentukan). Kedua pengamatan ini akan memberikan hasil penjelasan yang berbeda, karena pada persepsi tidak pasti tidak perlu pengenalan suatu obyek melalui proses yang sedetail mungkin sebagaimana dilakukan dalam savikalpa  melalui suatu analisis, sehingga mendatangkan hasil yang analisis, sintesis dan interprestasi alam pikiran, melalui penganalisan, sintesis dan interprestasi alam pikiran melalui penganalisan, sintesis dan interprestasi, segala pengamatan yang tidak pasti, kabur,akan menjadi jelas.
          Ajaran filsafat yoga menjelaskan ketika indrya menerima suatu obyek diluar dirinya tanpa itu disampaikan kepada manas. Kemudian dari pengamatan-pengamatan itu disusun masalah-masalah hingga menjadi sintesis dan menentukan sifat-sifat pengamatan itu, apakah ia nirvikalpa atau savikalpa.
         
e.       Pandangan tentang Tuhan
          System filsafat Yoga patanjali, yang ajarannya bersifat theis, mengakui Tuhan satu-satunya obyek termula, dan tertinggi. Oleh karna itu patanjali juga komentarnya berpandangan Tuhan bukan saja konsep dalam penciptaan tapi juga dalam praktek, dalam pemahaman tentang kebradaannya, yakni melalui tahapan-tahapan pelatihan yoga. Oleh karna itu system filsafat Yoga selain theis, ia juga bersifat teoritis dan praktis. Sebagai pusat konsentrasi pikiran, Tuhan sering  dipandang sebagai yang Maha Mulia, Maha Agung, Maha sempurna, bebas dari penderitaan , mengatasi jiwa penerangan, purusa dan prakerti.
          Untuk membuktikan pandangannya tentang eksistensi Tuhan dan ajarannya yang theis patanjali mengemukakan argumentasinya sebagai berikut.a
a)       Ia percaya adanya tingkatan di dunia ini Oleh karna itu ia memerlukan suatu tingkatan yang maksimum. Misalnya ada sesuatu yang baik, ada yang lebih baik, dan yang paling baik dan paling sempurna. Yang tersebut trakhirlah yang paling maksimum yang tiada lain adalah Tuhan karenanya Beliau diistilahkan sebagai yang maha sempurna,Maha tahu, maha adil dan sebagainya.
b)      Hal ini tidak bertentangan dengan pernyataan kitab suci veda, upanisad, dan kitab suci lainnya , bahwa tuhan dipandang sebagai jiwa yang maha agung, sempurna, realitas, yang utama dan menjadi tujuan trahir dari segala yang ada di dalam alam semesta ini.
c)       Memang benar ada purusa dan prakerti Dua azas ini ibarat orang buta dengan orang lumpuh pertemuan kedua azas ini (di antara keduanya ) memerlukan pembingbing, penghubung, prantara, yang tidak lain adalah Tuhan, sehingga terwujud alam semesta.
          Dengan argumentasi ini, maka patanjali bukan saja ingin membuktikan kebradaan  Tuhan melalui tiori ajaran filsafatnya, tetapi juga melalui praktek yoga. Oleh karna itu ketika tahapan-tahapan pelatihan yoga dilakukan, konsentrasi utama pikiran ditunjukkan kepada tuhan. Menurut Patanjali, Tuhan merupakan purusa istimewa atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih ke-Mahatauan, yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dahulu.

f.       Astangga Yoga
          Astangga Yoga juga merupakan ajaran Yoga yang oleh Rsi Pantanjali merupakan Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik, yaitu 1. Yama (larangan), 2. Niyama (ketaatan), 3. Asana (sikap badan), 5. Pratyahara (penarikan indriya), 6. Dharana (konsentrasi), 7. Dhyana (meditasi), dan 8. Samadhi (keadaan supra sadar). Kelima yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-anga) dari yoga, sedangkan ketiga yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-anga) dari yoga. (Sivananda, 2003:207). Menurut aliran Raja-Yoga dan Patanjali, terdapat lima tingkatan mental yang disebut sebagai: Ksipta, Mudha, Wiksipta, Ekagra, dan Niruddha. Tingkatan ksipta adalah dimana pikiran mengembara diantara berbagai obyek duniawi dan dijenuhi dengan sifat-sifat rajas. Tingkatan Mudha, pikiran ada dalam keadaan tertidur dan tidak berdaya akibat sifat tamas. Tingkatan Wiksipta, adalah dimana sifat sattwa melampaui dan pikiran mejadi goyang antara menditasi dan obyek dan secara berlahan-lahan pikiran berkumpul dan bergabung. Bila sifat sattva meningkat, kita akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indra dan kelayakan untuk perwujudan Atman. Tingkatan Ekagra, pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam, dan sifat sattva akan terbebas dari sifat rajas dan tamas. Tingkatan Niruddha, pikiran dibawah pengendalian yang sempurna dan semua wrtti atau gejolak pikiran dilenyapkan. Setiap wrtti meninggalkan suatu samskara atau kesan-kesan yang mendalam dan dapat mewujudkan dirinya sebagai keadaan sadar bila ada kesempatan. Apabila semua wrtti dihentikan, pikiran dalam keadaan seimbang (samapatti).
          Menurut Patanjali, avidya (kebodohan), asmita (keakuan), raga-dwesa (suka dan benci, keinginan dan antipati), dan abhinevesa(ketergantungan terhadap duniawi) merupakan 5 klesa besar atau malapetaka sang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan melaksanakan yoga secara terus menerus, tetapi tidak menghilangkannya sama sekali. Mereka akan muncul lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi asamprajnata samadhi (pengalaman mutlah) menghancurkan sekaligus benih-benih dari kejahatan ini. Awidya merupakan penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan hasil langsung dari awidya, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta menyelubungi pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samadhi melenyapkan awidya. (Sivananda, 2003:211)
          Tujuan kehidupan adalah keterpisahan mutlak dari purusa dengan prakerti. Kebebasan dalam yoga merupakan kawilya atau kebebasan mutlak tersebut, dimana roh terbebas dari belenggu prakrti dan purusa berada dalam wujud yang sebenarnya atau svarupa. Sang roh telah melepaskan avidya melalui pengetahuan pembedaan (vivekakhyati) dan 5 klesa terbakar oleh apinya ilmu pengetahuan sang diri tak terjamah oleh kondisi dari Citta, dimana guna seluruhnya terhenti dan sang diri berdiam pada intisari ilahinya sendiri. Walaupun seseorang telah menjadi seorang mukta (roh bebas), namun prakrti dan perubahan-perubahannya tetap ada bagi orang lainnya dan hal ini dalam perjanjian dengan system filsafat samkhya,tetap dipegang oleh system yoga ini.



0 komentar: