Rabu, 15 Januari 2014

GAMELAN

GAMELAN


1.  Latar Belakang
Sejarah telah mencatat bahwa gamelan merupakan salah satu warisan dari produk budaya Hindu di masa lalu. Gamelan adalah orkes besar yang terdapat di Jawa dan Bali, terutama dari alat-alat pukul yang terbuat dari perunggu (Pringgodigdo dkk, 1973 : 427). Gamelan dari salah satu puncak puncak kebudayaan daerah yang memang menonjol pernah di usulkan oleh Ki Hajar Dewantara dan tokoh lainnya sebagai salah satu bentuk kebudayaan nasional. Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh lainnya memandang bahwa gamelan adalah kesenian yang sebanding dengan art music eni musik klasik Eropa” (Sumarsam, 2003: 14).
Gamelan Jawa maupun gamelan Bali merupakan karya monumental dari nenek moyang Bangsa Indonesia yang memiliki nilai sastra dengan bangunan-bangunan candi. Gamelan dapat tumbuh danberkembang di masa lalu karena pada masa kerajaan Hindu, Raja memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai seni dan Budaya. Catatan sejarah membuktikan bahwa ketika kerajaan Hindu menjadi pusat kekuasaan di tanah Jawa, Raja mendorong perkembangan sosial, politik, agama, kesusastraan, dan seni. Gamelan adalah salah satu sarana salah satu seni atau kesenian yang di kembangkan oleh kerajaan Hindu di masa lalu. Sejarah seni musik gamelan Jawa dapat di telusuri dari periode awal kerajaan Hindu di Jawa Tengah abad ke-8 sampai dengan abad ke-10 (Sumarsam, 2003:17). Salah satu ciri yang menonjol dari kehidupan musikal pada periode Hindu di Jawa (kira-kira dari abad ke-11 hingga abad ke-14) adalah pentingnya musik gamelan dan seni pertunjukan. Juga termasuk di dalamnya menulis dan membaca puisi kekawin sebagai bagian dari pendidikan warga istana dan keluarga bangsawan. Hamper semua anggota istana dari berbagai jenjang , harus belajar memainkan musik gamelan, menyanyi, menari atau berpuisi (Sumarsam, 2003:18).
  
Gamelan sebagai produk kebudayaan Hindu ratusan tahun silam tidak punah ketika pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu di Jawa pudar. Sampai sekarang gamelan masih tetap eksis, bahkan masyarakat jawa yang beragama islam atau beragama lainnya saat ini masih melestarikan seni gamelan. Hal ini membuktikan bahwa seni gamelan mendapat tempat di hati masyarakat Jawa dan Bali khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Kenyataan ini juga membuktikan bahwa seni gamelan memiliki nilai yang universal.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa gamelan Jawa dan Bali yang ada sekarang ini merupakan warisan produk kebudayaan Hindu di masa lalu. Kedua gamelan tersebuk dalam beberapa hal memiliki banyak persamaan dan sedikit perbedaan. Perbedaanya hanya terletak pada anggapan masyarakat Jawa dan Bali tentang sifat, fungsi, dan kebudayaan gamelan tersebut. Gamelan pada saat ini dalam masyarakat Jawa hanya di anggap sebagai sarana seni, sedangkan dalam masyarakat Bali (Hindu) gamelan memiliki sifat, fungsi, dan kedudukan ganda, gamelan di Bali selain sebagai sarana seni pertunjukan tetapi yang paling penting adalah “bahwa gamelan juga sebagai sarana untuk mengiringi berbagai macam ritual”. Bali, karena selalu eksis dalam berbagai konteks sosial budaya masyarakat Bali. Dengan penampilan dan penyajiannya yang kharismatik dalam setiap event, baik dalam konteks budaya spiritual maupun entertaimen, sangat menarik untuk mendapat dukungan dan perhatian dari masyarakat.

 Gamelan Bali diklasifikasikan menjadi tiga golongan menurut umurnya: yaitu saat munculnya atau terciptanya jenis-jenis gamelan tersebut dan mulai berkembang di masyarakat. Pengklasifikasian tiga golongan gamelan tersebut ialah: gamelan golongan tua, gamelan golongan madya dan gamelan golongan baru. Dalam setiap klasifikasi jenis gamelan memiliki perbedaan bentuk, ciri khas, jenis bahan gamelan, jenis instrumen pelengkapnya serta dibedakan dari sifat-sifat dan karakteristik instrumen.2 Jenis-jenis gamelan tersebut masih sangat eksis dan berkembang pesat dalam tatanan kehidupan masyarakat, yang berhubungan erat dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun spriritual masyarakat Bali. Gamelan beragam jenis tersebut dijadikan sarana untuk menunjang kegiatan sosial maupun spiritual dalam masyarakat, sekaligus sebagai tumpuan perekonomian, yaitu gamelan dijadikan sumber penghidupan bagi seniman, maupun pengrajin gamelan selaku pembuat dan penjual gamelan. Hasil produksi dari pengrajin gamelan sangat berarti dalam upaya pengembangan dan pelestarian budaya, serta memberikan ruang terhadap para seniman karawitan dalam berkarya. Melihat begitu pentingnya keberadaan seniman pengrajin, maka dari itu penelitian ini dilakukan didasari atas keinginan dan ketertarikan penulis terhadap suatu proses pembuatan gamelan Bali yang dilakukan di Dusun/Desa Tihingan Kabupaten Klungkung. Konon pekerjaan ini merupakan suatu pekerjaan yang diwarisi secara turun-temurun bermula dari keterampilan

 2.  Fungsi Gamelan
            Gamelan merupakan suatu cara individu berhubungan di dalam kelompok yang hanya dimainkan pada kesempatan tertentu seperti upacara agama, upacara pertunjukan wayang, dan untuk keluarga raja. Gamelan juga dimainkan di halaman, kuil, dan upacara agama desa/kampong. Di samping untuk fungsional sosial, gamelan juga menjadi mata pencaharian utama untuk pengrajin khusus yang membuat gamelan. Gamelan meiliki fungsi ritual, hiburan dan juga presentasi estetis.
            
 

            Saat ini, walaupun gamelan masih digunakan untuk upacara agama, juga dipentaskan pada konser musik. Gamelan juga digunakan untuk music modrn maupun tradisional, drama, mengenal teater dan pedalangan yang disimpan pada tempatnya seperti halaman, kuil, museum, dan sekolah.
            Di Indonesia, hamelan sangat dihargai dan dianggap keramat, gamelan dipercayai memiliki kekuatan gaib. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia menawarkan dupa dan kembang ke gamelan. Selain itu, para musisi melepaskan sepatunya pada saat memainkan gamelan. Menurut kepercayaan, setiap alat music dalam gamelan dipandu roh-roh. Juga dipercaya bahwa seseorang dilarang melangkahi gamelan karena akan membuat marah roh tersebut.
            Fungsi gamelan dalam masyarakat Hindu di Bali (teristimewa umat Hindu di Bali dan umat Hindu asal Bali) dimanapun mereka berada, dalam melaksanakan kegiatan ritual tidak pernah terlepas dengan penggunaan bunyi gamelan. Ritual dalam agama hindu merupakan bentuk implementasi dari filsapat dan etika. Pelaksanaan dalam berbagai rituall hindu selalu diiringi bunyi gamelan. Pada prosesi ritual tertentu yang dianggap sederhana, pelaksanaanya cukup menggunakan satu gamelan saja. Tetapi dalam upacara agama besar seperti piodalan, yaitu perayaan ulang tahun berdirinya pura, perayaan hari besar agama maka berbagai macam gamelan, seperti: bleganjur, angklung,gong gede, gong gambang, gong kebyar, dan lainnya digunakan bergantian. Singkatnya, tidak ada acara ritual Hindu tanpa menggunakan gamelan. Pada daerah transmigran yang ekonominya belum mapan, bunyi gamelan tersebut diganti menggunakan kaset gong sebagai pengiringnya. Bahkan di Sulawesi Tengah membuat gamelan yang terbuat dari bekas pipa galvanis dari buangan PDAM. Ada juga menggunakan music gamelan tingklik dan grantang, alat music yang terbuat dari kayu dan bamboo. Hal ini terjadi karena masyarakat tersebut belum dapat membeli seperangkat alat gamelan.
            Berbagai upaya telah dilakukan oleh umat Hindu agar di wilayah pura atau desanya memiliki seperangkat gamelan. Demikian besarnya kecintaan umat Hindu terhadap gamelan. Ada banyak laporan hasil penelitian tentang gamelan dan buku-buku tentang gamelan dan buku-nuku musik. Hasil penelitian tentang gamelan dapat diperoleh pada Pusat Dokumentasi Pemerintah Daerah Bali. Terdapat dua hasil penelitian terhadap gamelan yang dilakukan oleh Wallis (1979) dan hasil penelitain Lontar Prakempa oleh Bandem (1986), serta buku yang terkait langsung dengan penelitian ini yakni Psikologis Yoga (Sarkar, 1992), Memori Bajra Sandhi (Granoka, 1997), Efek Mozart ( Cambell, 2002), Dimensi Musik dan Bunyi (Khan, 2002), Psikologis Musik (Djohan, 2003). Selain itu masih banyak lagi buku yang membantu untuk memahami hakikat dari bunyi dan gamelan.

3.  Filosofi Hindu
Filsafat dalam pandangan hidup orang Hindu, termasuk umat Hindu di palu seharusnya merupakan sesuatu yang sangat esensial. Karena dalam Kerangka dasar Agama hindu, hal filsafat ditempatkan pada urutan pertama. Jika hal ini konsekuen diterapkan dalam kehidupan orang Hindu, maka orang Hindun tidak akan pernah kebingungan mencari pjawaban atas pertanyaan tentang sesuatu ritual yang dilaksanakan. Sebuah ritual seyogyanya dilaksanakan secara komperhendif berdasarkan filsafat dan etika. Kitab suci Manawa Dharmacastra III.97 mengatakan bahwa persembahan yang dilakukan tanpa diketahui maknanya adalah sia-sia (Pudja & Sudharta, 1973 : 161). Namun demuikian sebagaimana juga terjadi dalam berbagai macam disiplin keilmuan, akan selalu terdapat penyimpangan antara konsep, teori dengan praktek. Demikian juga dalam praktek-praktek ritus yang dilaksanakan oleh umat Hindu, ada juga yang tidak diketahui maknanya dan ketika ditanyakan tentang maknanya malah menjadi masalah yang besar. Misalnya, ada orang yang bertanya, mengapa umat Hindu dalam dalam melaksanakan ritualnya selalu menggunakan bunyi gamelan?. Dapat diperkirakan jawabannya hanya diseputar panca nada, yaitu bahwa dalam persembahyangan umat Hindu menggunakan sarana lima macam bunyi, yaitu:
  1. Kulkul (Kentongan)
  2. Kidung (Nyanyian Suci)
  3. Gamelan
  4. Genta (Lonceng Pendeta), dan
  5. Mantra atau doa
Filsafat dalam artian luas berarti mencintai kebenaran, jadi sesungguhnya filsafat mengarah pada pengetahuan tentang kebenaran. Dalam literature India diistilahkan dengan darsan atau ‘visi kebenaran’. Setiap aliran filsafat Hindu dengan berbagai jalannya memandang bahwa dalam filsafat itu harus memungkinkan terjadinya realisasi langsung dengan kebenaran atau tattwadarsana (Maswinara,, 1999;2). Tradisi penggolongan yang palin mungkin dipakai oleh para pemekir India ortodoks tentang filsafat Hindu dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu astika (ortodoks) dan nastika (heterodoks). Kelompok pertama terdiri dari enam sitem filsafat utama yanbg secara populer dikenal dengan Sad-darsana, yaitu : Mimamsa, Vedanta, Sankhya, Yoga, Nyaya, dan vaisesika. Filsafat dan teologi dalam agama Hindu sulit dipisahkan, sebab keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Teologi Hindu justru dijelaskan dengan system filsafat yang disebut darsana. Kata darsana ini memiliki arti yang lebih luas dari filsafat sebagaimana pengertian filsafat di Barat. Sebab darsana adalah filsafat yang berkaitan dengan realisasi diri ke dalam Tuhan. Filosofi atau filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu secara mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta, dan manusia (Bakri dalam Sudarto, 1997 : 7). Teologi adalah teori atau study tentang Tuhan. Dalam praktek istilah ini digunakan untuk memberikan nama kepada kumpulan doktrin  dari kelompok keagamaan tertentu atau juga pemikir individual (Maulana, 2003 : 500). Dalam bahasa sanskerta teologi sama dengan Brahmavidya, Brahma artinya Tuhan dan Vidya artinya pengetahuan atau ilmu. Jadi Brahmavidya adalah ilmu atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani , yaitu dari kata Theos berarti Tuhan dan Logos berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang tuhan (Pudja, 1999 : 3)

4.  Makna Gamelan
                                                                               

     a)      Makna Religius
            Pertunjukan gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah. Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.
b)      Makna Pelestarian Budaya
            Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.
c)      Makna Keseimbangan
            Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya. Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).



Daftar Pustakan

Dokumentasi tabuh-tabuh Bali klasik, Denpasar, 2002, Dinas Kebudayaan. Propinsi Bali.

Donder, I Ketut. 2005 “Esensi Bunyi Gamelan dalam Propesi Ritual Hindu”. Paramita. Jakarta.

Pandji, Drs. I.G.B.N. 1979. “Ensiklopedia musik dan tari daerah Bali”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

M Oktia, Titik. 2008. “Ensiklopedia Alat Musik Tradisional”. SIC. Surabaya.

Diakses pada tanggal 25 mei 2012.

Diakses pada tanggal 25 mei     2012

0 komentar: