CANANG
SARI
Canang merupakan
sarana yang penting dalam setiap persembahyangan. Karena ini merupakan sarana
upakara yang di pakai untuk mempersembahkan kepada Sang Hyang Widhi atau
Bhatara Bhatari. Kata Canang berasal dari bahasa jawa kuno yang pada mulanya
berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu yang sangat dihormati (Wiana,
1992:26).
Canang belum
bisa dikatakan bernilai agama jika belum dilengkapi porosan yang bahan pokoknya
sirih. Perlengkapan canang adalah alasnya dipakai ceper atau daun pisang
berbentuk segi empat, diatasnya berturut – turut disusun plawa, porosan,
urasari kemudian bunga.
2.
Makna masing – masing dari isi canang :
a.
Ceper
Ceper merupakan
sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah
sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai
lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya,
Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan
wadag) ini.
b.
Bunga.
Bunga adalah
sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan
ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita
menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati
dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Bunga sebagai
salah satu unsur sarana persembahyangan. Dalam Bhagawadgita Bab.IX sloka 26,
disebutkan unsure-unsur pokok persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang
Widhi adalah bunga, disamping daun, buah-buahan dan air. Adapun bunyi slokanya
sebagai berikut:
Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnami prayatat manah.
Artinya:
Siapapun yang dengan kesujudan
mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air, persempahan yang
didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, Aku terima (Wiana,
1992:25)
c.
Beras atau wija
Beras/Wija
sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup,
Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh
benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma.
d.
Porosan.
Sebuah Porosan
terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai
lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan
perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu,
dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir
sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa
Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam
bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran).
Selain itu ada
juga yang mengatakan bagian dari Porosan diantaranya
Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma
(Surayin, 2004: 59-60).
e.
Tebu dan pisang.
Di atas sebuah
ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan
seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha.
Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri
Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu
aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini.
Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh
kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
f. Sampian Uras/Uras Sari.
Sampian
uras/Uras Sari dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang
biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan
dengan Asta iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan
umat manusia. Yaitu : Dahrma (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan
kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), Kama (Kesenangan), Eswarya
(kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala
( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia,
sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda
kehidupannya. Ada pula yang mengatakan uras sari itu merupakan simbolis
arah mata angin asta dewata.
g.
Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas
susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna
sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua
arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai
dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol
warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam
bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki
bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan
dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan,
kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk
itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki
kebijaksanaan.
h.
Plawa
Plawa adalah
daun–daunan. Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa plawa
merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat
menangkal pengaruh busuk dari nafsu duniawi.
Mantra
Canang Sari
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ
shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
3.
Canang Sari dalam Konsep Penyatuan Siwa Siddhanta
Penyatuan
sekte-sekte Siwa Siddhanta dalam canang sari dapat di kaji dari bunga. Bunga
melambangkan ketulusan hati, dari warna-warna bunga dapat dikaitkan dalam
Dewata Nawa Sangga, warna-warna bunga itu merupakan simbolis para dewa-dewa
seperti bunga kamboja warna putih melambangkan dewa iswara, bunga cempaka
kuning yang berwarna kuning melambangkan dewa Mahadewa, bunga yang berwarna
merah melambangkan dewa Brahma, Bunga yang berwarna hijau atau biru
melambangkan kekuatan dari Wisnu.
Untuk Sekte
Waisnawa yang diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan
Dewi Sri. Dewi Sri yang dipandang sebagai pemberi rejeki, kebahagiaan dan
kemakmuran. Para petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang
merupakan keperluan hidup yang utama dan merupakan sumber kemakmuran serta
kesejahteraan (Gunawan, 2012:49).
Bagian dari Porosan diantaranya Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah
Pinang menggambarkan Hyang Brahma (Surayin, 2004: 59-60). Selain itu dalam
ura sari yang yang terdiri dari delapan lengkungannya itu juga melambangkan
dari asta dewata yaitu sesuai dengan arah mata angin.
Kembang rampai
memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam,
sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai
simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Disini dapat
dilihat simbolis dari dewa siwa yaitu sesuai dengan arah mata angin dalam
dewata nawa sangga yang berada di tengah-tengah.
Demikian isi
dari canang sari merupakan penyatuan sekte Siwa Siddhanta di bali dapat dilihat
dari warna bunga, lengkungan dari ura sari, porosannya merupakan penyatuan dari
Tri Murti, kembang rampai yang di letakkan di tengah-tengah sebagai tanda
uger-uger dewata nawa sangga arah mata angin dewa Siwa berada di tengah.
DAKSINA LAMBANG ALAM STHANA
HYANG WIDHI
Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina
juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Dalam kitab Yayur Veda
XXXX.1 ada disebutkan bahwa Sthana Hyang Widhi Wasa adalah alam semesta atau
Bhuana Agung. Hyamh Widhi berada pada alam yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Tidak ada bagian bhuana agung ini tanpa kehadiran Hyang Widhi.
Demikian pula dalam kitab Ayur Weda pada bagian terakhir mantra yang disebutkan
bahwa nama Hyang Widhi pertama adalah OM dan badannya adalah alam semesta atau
bhuana agung ini. Hyang Widhi juga disebut parama atma. Sebagai jiwa dari bhuana alit beliau disebut atman. Banten
daksina disamping lambang penghormatan juga sebagai lambang Bhuana Agung Sthana
Hyang Widhi Wasa. Hal ini disebutkan dalam puja pengantar daksina sebagai
berikut: Om pakulun bhattara Visnu alingga haneng daksina sesantun dan
seterusnya.
Daksina adalah
tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan
perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita
lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada
daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya
(Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda
"terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu
kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah
sujud kita atas semua karunia-Nva
Daksina sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam
bahan-bahan yang membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang
membentuk Daksina, yaitu :
1. Bebedogan, dibuat dari daun janur yang sudah hijau
yang bentuknya bulat panjang serta ada batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan
ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2. Serobong Daksina, disebut juga sebagai Serobong
Bebedogan dibuat juga dari daun janur yang sudah hijau tanpa tepi maupun
dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi lapisan pada bagian tengah dari
bebedogan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina. Serobong
daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
3. Tampak, dibuat dari empat potong helai janur berbentuk
seperti kembang teratai bersegi delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau
kiblat mata angin yang mengarah pada delapan penjuru.
Pada dasar daksina diisi tetampak
dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai
dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju
arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput.
4. Telor itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat
Taluh. Telor itik yang dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang
menghuni bumi ini. Telur itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam.
5. Beras, beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang
menjadi sumber penghidupan umat manusia di alam raya ini.
6. Benang Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis
dari penghubung Jiwataman yang tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina.
Sebelum pralina atman yang berasal dari paratman akan terus menerus mengalami
penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan
kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
7. Uang Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol
Bhatara Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber
kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci
lambang Dewata nawa sanga yang berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
8. Pisang, Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang
menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini
hidup dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
9. Porosan dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan
pada Hyang Tri Murti. Sedangkan kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna
pada Hyang Tri Murti. Tujuan bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia
mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang
Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada saat memelihara sesuatu yang aptut dan
wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat
meniadakan sesuatu yang patutdan wajar dihilangkan.
10. Gegantusan, unsur upakara ini lambang didunia ini
mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan tingkatan karmanya.
11. Pesel-peselan dan Bija Ratus, unsur upakara ini
merupakan lambang hidup bersama di dunia ini untuk menyatukan berbagai bibit.
Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama dalam menelorkan suatu ide bersama.
Sebelum ide bersama itu muncul sebagai suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib
mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah yang di sebut bija yang harus diratus
menjadi satu ide bersama.
12. Kelapa, sebagai unsur yang paling utama dalam Banten
Daksina. Buah kelapa dari kulit dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana
Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu semuanya melambangkan sapta patala dan sapta
loka. Mengapa buah kelapa yang dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan
kulitnya hingga kelihatan batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat
indria. Karena Daksina itu lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhitentunya
harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi
akan dapat kita capai apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria.
Kitalah yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang
bijaksana.
Mytologi adanya kelapa
Kelapa memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia
dan mahluk hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang
dicukil dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa.
Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini
bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga menugaskan
Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan bidadari yang
sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari ini bertugas
menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat Dewa Brahma
melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat terperanjat hingga
beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata seribu saat
menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian cantiknya itupun turun kedunia menggoda raksasa kembar
tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan
bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa
Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat
sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh.
Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal
ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima
kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan
demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra
Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya
adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang
gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun
bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan
dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma
itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala
Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada
kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan
yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat
Hindu.
DENGAN DAKSINA MEMBINA HIDUP
TERHORMAT
Hidup terhormat adalah hidup yang dijalankan di atas relnya Dharma. Rejeki
yang didapatkan untuk membiayai hidup itu diperoleh secara terhormat. Demikian
pula status sosial atau kedudukan terhormat itu dicapai melalui cara-cara yang
terhormat pula. Dipergunakan banten Daksina dalam upacara Yajna dimaksudkan
juga untuk memebina tumbuhnya kesadaran spiritual agar selalu dapat berbuat
terhormat dalam hidup ini. Hidup terhormat bukan untuk dipamerkan didepan halayak
ramai. Artinya kalau didepan halayak ramai barulah kita tampil terhormat. Kalau
tidak ada yang menyaksikan berprilaku terhormat itu tidak diupayakan. Membina
hidup terhormat bukanlah berarti hidup yang gila hormat. Seoramg akan terhormat
apabila dalam menjalani hidup ini selalu menempuh jalan hidup diatas
norma-norma yang dibenarkan baik oleh norma agama maupun norma-norma lainnya
yang berlaku. Di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan bahwa untuk mencapai
kehidupan yang terhormat itu (Daksina) harus diawali dengan perjuangan diri
yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh disiplin itu disebut dengan Brata.
Brata artinya janji diri yaitu suatu disiplin hidup timbul dari niat diri
sendiri untuk melakukan sesuatu disiplin hidup. Disiplin hidup itu tidak berasal
dari orang lain. Disiplin hidup ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita hidup.
Disiplin hidup itu ditempuh samapai mencapai tujuan yang suci itu. Brata itu
meliputi disiplin hidup yang bersifat jasmaniah dan disiplin hidup rohaniah.
Brata bertujuan untuk mencapai ilmu engetahuan tentang kehidupan keduniawi
dalam artian yang positif (Apara Vidya) dan pengetahuan Rokhaniah (Para Vidya).
Kedua ilmu itu bertujuan membangun hidup yang seimbang lahir dan batin.
Perpaduan dua ilmu tersebut untuk diarahkan mengendalikan indria terutama
lidah. Lidah dikendalikan agar jangan mengucapkan kata-kata yang mengandung
kejahatan, kebohongan, fitnah dan tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Dari
Brata pikiran dan kata-kata dilanjutkan dengan Brata prilaku. Brata prilaku itu
meliputi tidak mencuri, tidak membunuh, dan tidak berjianah. Dari Brata ini
diharapkan mencapai Diksa. Diksa itulah puncaknya Brata. Suatu study yang telah
mencapai hasil yang disebut tamat. Kalau sudah mencapai Diksa itu barulah boleh
menikmati Daksina. Daksina itu adalah suatu hasil berupa materi dan non materi.
Dewasa ini banyak orang mendapatkan suatu perolehan yang tidak berupa Daksina.
Artinya mendapatkan materi maupun non materi secara tidak terhormat. Memenuhi
kebutuhan hidup dengan hasil yang tidak diperoleh secara terhormat maka orang
tersebut akan sulit menyampaikan pesan-pesan suci Veda. Orang yang hidup dengan
hasil yang diperoleh secara tidak terhormat jiwanya akan ditutupi oleh avidya
yang ditimbulkan oleh hasil yang diperoleh secara tidak terhormat itu. Orang
yang hidupnya dari hasil Daksina akan hidup keyakinan yang mantap tanpa
dibayang-bayangi oleh rasa berdosa. Hidup yang demikian itulah disebut Sraddha
yaitu hidup dengan keyakian. Karena itulah marilah banten Daksina dipakai sebagai
simbol keagamaan yang sakral untuk mencari penghidupan yang disebut Daksina.
Mengapa kelapa Daksina serabutnya dikerik bersih
Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah
kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih.
Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi
dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa
yang dipakai bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik.
Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai
lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria
yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria
tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang
terhormat yang disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan
pambrih-pambrih yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana
pada mereka yang mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah
berarti orang harus merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh
dirusak bahkan harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan
alat yang baik. Yang dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh
indria kata Upanisad menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi
ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik
kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau
ingin kereta itu larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat.
Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi
jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat
indria yang dapat menyesatkan sang diri dari samsara. Dalam upacara-upacara
besar banten Daksina digunakan daksina yang besar pula. Misalnya upacar
penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari
hari kelahiran. Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain
buruknya. Agar seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara
penebusan Oton. Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan daksina gede.
Daksina gede itu tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya
neptunya 5 maka daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima
butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.
Banten Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada
sembilan jenis yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning
Utama 40.000, Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya
16.000, Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000.
ini adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten
Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :
- Daksina Alit untuk upacara sehari-hari.
Isinya adalah satu porsi dari
masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap
banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
- Kalau isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina
pakala-kalaan. Isi daksina dilipatkan dua
kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada
perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
- Kalau isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina
Krepa, Daksina yang isinya dilipatkan tiga
kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut
petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna
penebusan oton atau mebaya oton.
- Kalau empat kali disebut Daksina Gede atau
Daksina Pamogpog. Isinya dilipatkan
5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain
yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada
dasarnya diberi tetampak taledan bundar.
- Kalau isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina
Galahan, demikian beberapa jenis Daksina dalam bentuk uang dan dalam
bentuk Banten. Isinya dilipatkan 5 (lima)
kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar
tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi
tetampak taledan bundar.
Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam daksina adalah penyatuan
sekte- sekte yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan
daksina tersebut. Sebenarnya didalam daksina ini telah terjadi penyatuan sekte
Siwa sidantha tetapi yang lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma kalau kita
kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu merupakan
lambang dari buana agung dan didalam proses suatu penciptaan alam semesta
sehingga Dewa Brahma yang lebih berperan didalam hal ini.
Beberapa gambar Banten Daksina beserta cara pembuatannya, sebagai berikut:
daksina alit
Perlengkapan
Banten Daksina alit sebagai berikut :
1. Wakul 2.
Tapak 3. Kojong 4.
Gegantusan
5. Bija ratus 6.
Peselpeselan 7. Base 8.
Base enjokan
9. Wadah dadan 10.
Porosan 11. Tegteg daksina
Cara
Pembuatan Daksina Alit adalah :
1.
Ambil wakul daksina kemudian diisi
dengan beras, beras tadi ditumpuk dengan tampak dan diatas tampak diisi dengan
kelapa yang sudah dibersihkan serta diisi benang bali.
2. Setelah itu dimasukkan bahan-bahannya yaitu
gegantusan, bija ratus, pangi yang diletakkan diatas kekojong, pepesel yang
diletakkkan diatas kekojong, basen daksina yang diletakkkan diatas kekojong,
telur itik yang masih mentah dan sepotong pisang kayu
3.
Selanjutnya kita beralih pada enjokan
daksina : langkah pertama ambil daun plawa yang diletakkkan diatas enjokan
tadi, ambil daun sirih dan diisi kapur sirih serta buah pinang secukupnya,
kemudian daun sirih tadi dilipat dan diatasnya diisi bunga secukupnya serta
diatasnya bunga tersebut diisi wadah lengis sehingga bentuknya akan terlihat
seperti gambar dibawah.
4. Langkah berikutnya : ambil tegtegan daksina,
salah satu bagiannya diisi porosan dan bunga secukupnya. Pada bagian berikutnya
diisi beras dan sedikit benang bali serta bagia terakhir diberi uang kepeng
sehingga tegtegan daksina kam menjadi seperti ini
5. Kemudian enjokan daksina yang ditanding tadi
diletakkan diatas daksina, begitu juga dengan tegtegan daksina sehingga daksina
siap digunakan
Adapun
bentuk-bentuk Banten Daksina, yaitu :
FILOSOFI
BANTEN PERAS DALAM SIVASIDDHANTA
A.
PENGERTIAN
PERAS
Kata “Peras”
berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan
untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan
secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai
sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa,
banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya “Berhasil”.
Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai
dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”,
maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai
lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai
berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam
lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah
terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk
mencapainya.
Dalam Lontar
“Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang
Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten”
disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu
bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta
mencapai tujuan yang diharapkan.
B.
PERLENGKAPAN
PERAS
Banten Peras
terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan /
Tetuasan, antara lain :
a.
Taledan / Tamas / Ceper
Sebagai
dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang
mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya
sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya.
Makna dari Tamas lambang Cakra atau
perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/
Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
b.
Tampelan, Benang Tukelan dan Uang
Ini
berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan
lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan
meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan
ini adalah (poros – pusat) yang
merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan adalah kesucian dan alat
pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan
diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan
yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dan Makna dari Uang
adalah lambang
dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan
sumber kehidupan.
c.
Tumpeng
Dibagian
depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang
kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena
sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan
Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatukan baru
bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam
meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses
menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari nasi yang dibentuk
mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan daun pisang. Fungsi
dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi. Bentuk kerucut yang
letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu Tunggal adanya dan
tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya akan dituju dengan
jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa nafsu.
d.
Rerasmen
Rerasmen
(lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan
(telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan
Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau
Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan
sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan
berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah
kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan
harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan
hati nurani).
Mengenai sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar
“Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan sebagai berikut :
-
Kacang nga ;
ngamedalang pengrasa tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya : Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan
menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun melambangkan kesatuan.
-
Ulam nga; iwak
nga; ebe nga; rawos sane becik rinengo
Artinya :
Ulam itu ikan yang dipakai sebagai Rerasmen itu
sebagai lambang bicara yang baik untuk
didengarkan.
e.
Buah
Dibagian
belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel,
salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa
Wija nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu,
ngalangin ring kahuripan.
Artinya
:
Segala
macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan
yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik
dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
f.
Jajan
Jajan
ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis
banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina,
Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam
Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Gina/
bagina nga; wruh, Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena,
Dodol nga; pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal
nga; pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya
:
Gina
lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang,
bhakti terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah
lambang kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari
kesungguhan dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan,
Satuh sama dengan patuh.
g.
Sampyan Peras
Berupa
sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan
Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana
yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang
dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan
metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga;
ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari
sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan
secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga
dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai
berikut :
Sedah
woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa
Banten” sebagai berikut :
Sedah
woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang
mitra, kasih kumasih.
Artinya
:
Sirih
dan pinang itu perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan,
berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara
dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah adanya arti
dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam kehidupan keagamaan
Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat umat manusia kehadapan
Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk mensahkan dan atau meresmikan
dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon kehadapan Hyang Widhi atas
keberhasilan suatu tujuan.
Dalam setiap akhir
persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik
beberapa bagian dari tiga
lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan
dan dijahit pada alas banten Peras.
Adapun
mantra Peras adalah sebagai berikut :
Om
Suddha bumi suddha akasa
Om
Suddha dewa suddha manusa
Om
Siddhir astu tad astu
Om
Ksama sampurna ya namah swaha
Om
Mili mili maha amrtham
Suksma
parama siwa ya namah
Om
Ung ung Om Ang Ung Mang.
Om
Ekawara, Dwiwara, Triwara
Caturwara,
Pancawara
Peras
prasiddhanta
Parisudha
ya namah swaha, Om.
C.
PENYATUAN KONSEP SIVASIDDHANTA DALAM BANTEN PERAS
Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam peras adalah penyatuan sekte-
sekte yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan peras
tersebut. Sebenarnya didalam peras ini telah terjadi penyatuan sekte Siwa
sidantha kalau kita kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan beras dan
lain sebagainya.
Makna
dan Penggunaan Banten Sesayut Sidha Karya,
Sesayut
Sidha Purna dan Canang Pengraos
Pengertian
Sesayut
Menurut
Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan
bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut”
atau “nyayut” dapat diartikan
mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari
Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia
dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa
sesayut berasal dari kata “sayut”
yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah
orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau
penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam
bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari
kata “ayu” yang berarti selamat atau
rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater
Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu,
kemudian mendapat reduplikasi “t”
menjadi sesayut yang artinya menuju
kerahayuan.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut
merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang
melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan
sebagainya.
Kulit
sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit
sesayut terdapat isehan. Ada dua
jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan
tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian
plaus yang kedua tangkihnya
digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan.
Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan
potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam
banten sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama
dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan
fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun yang akan dibahas dalam artikel ini
adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna.
Sesayut
Sidha Karya
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar
terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan
yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan
upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak
menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca
Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi
menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang
digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu
mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya
memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih,
Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’
berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut,
maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini
dapat dikatakan sebagai pemuput dalam
suatu rangkaian upacara yajna.
Ida
Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut
(2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara
Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah
‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam
bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah
satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk segi empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung berisi nasi
-
Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
Kulit
sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi
empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi
kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi
raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya
dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut
Sidha Purna
Sesayut
Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya.
Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak
diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida
Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan
bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas
pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).
Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa
Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
nasi 3 bulung
-
telur itik rebus dibagi 3
-
bunga tunjung
-
raka-raka (buah dan jajan)
-
sampian nagasari
Cara menatanya:
Untuk
alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya
diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung,
disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan
sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196)
Canang
Pengraos
Canang
pengraos biasanya digunakan dalam berbagai upacara, misalnya:
1.
Dalam sebuah paruman/rapat,
2.
Dalam Dharma Mapepadikan, di saat
meminang anak perempuan.
3.
Dalam nedunang Ida Bhatara saat upacara Dewa Yadnya
Canang Pengraos
memiliki beberapa makna tergantung pada saat apa ia digunakan. Misalnya pada
saat Dharma Pepadikan, banten pengraos bermakna sebagai keharmonisan/kewibawaan
dalam berbicara dan agar terhindar dari gangguan yang lain (Jro Anom).
Sedangkan menurut Putu Sanjaya (Dosen IHDN), dalam dharma pepadikan maupun pada
saat paruman, canang pengraos juga berfungsi sebagai saksi serta agar apa yang
diucapkan itu adalah benar adanya, tidak ada yang merasa dibohongi maupun
dibohongi. Selain itu, canang pengraos juga digunakan pada saat nedungang Ida Bhatara pada saat akan
melaksanakan Yajna agar Beliau hadir merasuki raga manusia untuk dapat
berkomunikasi dengan manusia.
Makna
Filosofi Banten Ajuman dan Kristalisasi Sekte-sekte yang ke dalam Sekte Siva
Siddhanta, dalam Banten Ajuman
Banten Ajuman yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum,
menghormat, sujud kepada Hyang Widhi). Soda/ajuman
dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang
keteguhan/kokoh.
Dan disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai
persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan
kehadapan para leluhur, salah satu peneknya
diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau
perayun" yaitu jajan serta
buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya
masing-masingdialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang
agak besar. Di atasnya diisisebuah canang pesucian, canang burat wangi
atau yang lain.
1.1 Unsur-unsur dalam banten Ajuman
1. Tamas atau Taledan
2. Buah pisang,
3. Jajan
4. Lauk-pauk
5. Buah-buahan
6. Dan nasi
berbentuk penek (bundar) 2 buah,
7. Rerasmen yang
dialasi Tri Kona,
8. Sampyan
plaus/petangas/Sampian Soda
9. Canang sari/Canang Genten
1.2 Makna Filosofi Banten Ajuman/Soda
1.2.1 Tamas
atau Taledan
Tamas atau taledan,
tamas lambang cakra (symbol kekosongan yang murni/ananda). Taledan
merupakan lambang catur marga yaitu
empat jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. (bhakti marga, karma marga,
jnana marga, dan raja marga). Sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
1.2.2 Buah pisang, Jajan, Dan Buah-buahan
Merupakan persembahan
hasil kerja keras dan rasa syukur kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah
memberikan anugrahnnya kepada kita semua.
Dan Sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
1.2.3 Dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah
Nasi penek (nasi yang sedimikian rupa tingginya kurang lebih 5 cm),
sehingga berbentuk
bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin
dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala
yang menyangga agar manusia tetap eksis. Bila
ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir
ataupun dibuat dari nasi kuning, yang disebut Ajuman putih kuning.
1.2.4 Rerasmen/lauk-pauk yang dialasi Tri Kona
Yang berisi berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan,
ikan teri, telor, terung, timun, daun
kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Yang merupakan simbol/makan, dari Bhuana Agung yang diperembahkan. Dan
sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
1.2.5 Sampyan plaus/petangas/Sampian Soda
Sampyan
Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga
berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi
manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan
jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah
siap. Dan dapat pula diartikan sampyan itu sebagai keteguhan hati. http://www.scribd.com/doc/63565118/Banten
1.2.6 Canang sari/Canang Genten
Canang sari
yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada
Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar
Mpu Lutuk Alit). Dan Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu
menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang
dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari.
1.3 Kristlisasi Sekte-sekte ke dalam Sekte
Siva Siddhanta dalam Banten Ajuman
Dari
makna filosofi masing-masing unsur yang ada pada banten Ajuman atau Soda, bahwa
semua unsur-unsurnya bermakna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widdhi Wasa. Yang
mulai dari unsur Bhuana Alit sampai Unsur Bhuana Agung, di persembahkan secara
tulus iklas. Dan dari makna-makna yang terdapat itu, bahwasanya semua
sekte-sekte yang ada telah luluh menyatu dengan sekte siva siddhanta.
Banten
Pejati
Cara Membuat Dan Kajian
Filosofis
Banten dalam
agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis
seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada
disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa
tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan
dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping
itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak
mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan:
“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
artinya:
semua jenis
banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang
Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati
Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering
dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan
melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan
prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran
artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati
secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang
didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat
disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali
dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna
dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu
kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati berasal
bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan
tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Adapun unsur-unsur banten pejati,
yaitu:
A.
Daksina
Unsur-unsur yang membentuk daksina:
1)
Alas bedogan/srembeng/wakul/katung;
terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada
batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat
dengan jelas.
2)
Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong
daksina ;terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran
dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa
tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi
tuhan )
3)
Tampak; dibuat dari dua potongan janur
lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampat adalah lambang keseimbangan
baik makrokosmos maupun mikrokosmos.
4)
Beras; lambang dari hasil bumi yang
menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva
5)
Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur
dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang
pemujaan
6)
Benang Tukelan; adalah simbol dari naga
Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara
Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari
penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina.
Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami
penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan
kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
7)
Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva
Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber
kehidupan.
8)
Telor Itik; dibungkus dengan ketupat
telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana
Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu
Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma
Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira.
9)
Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol
manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia
penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya.
10)
Gegantusan; yang terbuat dari
kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa dan lambang
kemakmuran.
11)
Papeselan yang terbuat dari lima jenis
dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku
lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun
salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga
merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
12)
Buah Kemiri; adalah sibol Purusa /
Kejiwaan / Laki-laki. § Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan /
perempuan.
13)
Kelapa; simbol Pawitra (air
keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan
(sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke
dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya
lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala,
lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang
Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa
yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran
sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut
basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering
lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas
dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana
Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat
dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
14)
Sesari; sebagai labang saripati dari
karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
15)
Sampyan Payasan; terbuat dari janur
dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
16)
Sampyan pusung; terbuat dari janur
dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia
adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
B.
Banten
Peras Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
1.
Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi
aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base
tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya,
dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan
peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai
permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
2.
Aled/kulit peras, porosan/base tampel,
beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan
keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar,
pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
3.
Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi
dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat
menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana
(kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa
berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan
unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada
Tuhan.
4.
Tamas; lambang Cakra atau perputaran
hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). § Ceper/ Aledan;
lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
5.
Kojong Ragkat, tempat lauk pauk;
memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua
potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
6. Sampyan
peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya,
merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi,
waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan
Dharma.
C.
Banten
Ajuman/Soda Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
1.
Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah,
pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi
tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang
dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang
Widhi)
2.
Nasi penek adalah nasi yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang
dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri
manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap
eksis.
3.
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari
janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas,
memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan
diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh,
karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.
D.
Ketupat
Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya
tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam
buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/
tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
Ketupat Kelanan adalah lambang dari
Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga
kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu
maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
E.
Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Yang membentuk Penyeneng:
Jenis jejaitan
yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi
aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi
sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan
hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk
membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
Ruang 1, berisi
Nasi aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan
merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala)
Ruang 2 berisi
beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta
ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk
melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
Ruang 3 berisi
bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras,
melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang
senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina)
Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
Bagian atas dari
Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu =
Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).
F.
Pesucian
Pesucian terdiri dari :
Sebuah ceper
/taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi:
Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh
(kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang
dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di
atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat)
terbuat dari janur.
1.
Pada intinya pesucian merupakan
alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara
keagamaan
2.
Secara instrinsik mengandung makana
filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan
kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka
hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau
G.
Segehan
Secara etimologi
Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala,
yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan
segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik
dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan
semua ciptaan Tuhan
Jahe, secara imiah memiliki sifat
panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
Bawang, memiliki
sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi
tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
Garam, memiliki PH-0 artinya
bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai
energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
Tetabuhan Arak,
Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat
efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan.
Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat
masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di
sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Banten Pejati dihaturkan kepada
Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
1.
Peras kepada Sanghyang Isvara
2.
Daksina kepada Sanghyang Brahma
3.
Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
4.
Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Penjelasan Bahan Banten Pejati
Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
1. Mengenai
rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih
sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi
menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. “ Ulam, nga; iwak
nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai
sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
2. Mengenai
buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang
pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan
merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya
Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan
pada kehidupan.
3. Mengenai
Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut
ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning
sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”.
Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang
kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah
lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari
sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan
Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
4. Mengenai
bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut
halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu
lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar
pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga,
bertetangga dan berkawan.
Demikian kupasan
banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan
pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu
dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama
Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula
Keto”, di masa yang akan datang.
Mantra
Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ Puspa Danta ya namah
svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna
pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam
trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan
Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca
raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva
Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam
Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma
Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta
Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya
mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya
namah svaha
Daftar Pustaka
Surayrin, Ida ayu Putu. 2004. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-upacara
Yajna (seri I upakara yajna). Surabaya : Paramita.
Wiana, Ketut. 1992. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Wiana, Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali. Surabaya : Paramita