1.
Sejarah Dadia Taro
Sejarah berdirinya Dadia Taro berawal dari Pasek Taro yang
berada di Desa Pakraman Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar. Berdasarkan sejumlah sumber tertulis seperti purana, prasasti, usana,
babad, pamancangah dan tatwa, pada jaman dahulu Pura Gunung Raung dibangun
berkat kehendak Maharsi Markandeya. Beliau merupakan seorang mahayogi yang
sangat utama berasal dari keturunan warga Brgu.
Diceritakan
pada jaman dahulu seorang Maharsi yang bernama Maharsi Markandya membangun
pertapaan di Gunung Raung Jawa Timur. Pada jaman dahulu, ada salah satu keturunan Sang
Hyang Jagatnatha yang bernama Sang Hyang Rsiwu adalah seorang
maharsi yang cakap dan bijaksana, mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru
. Setelah lama menikah beliau mempunyai dua orang putra bernama Sang Ayati
dan Sang Niata . Sang Ayati berputra Sang Prana , dan Sang
Niata berputra Sang Markanda . Sang Markanda kemudian menikah
dengan seorang gadis yang cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini ,
kemudian mempunyai anak bernama Maharsi Markadeya .
Diceritakan beliau sangat tampan dan mempunyai banyak
ilmu, paham terhdapa isi sastra utama. Kemudian beliau menikahi seorang gadis
yang bernama Dewi Dumara . Beliau mempunyai seorang putra bergelar Hyang
Rsi Dewa Sirah yang kemudian memperistri Dewi Wipari , selanjutnya
mereka mempunyai banyak anak dan menurunkan banyak keturunan.
Maharsi Markandeya juga dianggap sebagai titisan dari
Bhatara Surya, beliau berasal dari negara Bharatawarsa (India), kemudian
ada keinginan beliau untuk mengembara, membuka daerah baru dengan merabas hutan
menuju selatan. Tidak diceritakan dalam perjalanan sampailah beliau di Gunung
Damalung di wilayah Gunung Hyang atau disebut juga Gunung Dewata. Namun disana
sudah ada terlebih dahulu pertapaan Sang Ila putra dari Sang Rsi
Trenawindu , merupakan murid dari Maharsi Agastya. Disamping itu terdapat
juga pertapaan Sang Aridewi dan Sang Anaka disebelah lain dari Gunung Hyang
yang sekarang disebut Gunung Dieng. Maka Sang Maharsi Markadeya melanjutkan
perjalanan menuju Gunung Raung di Jawa Timur.
Setiba beliau di Gunung Raung, maka semua murid-murid
beliau merabas hutan untuk membangun pasraman dan pondok-pondok. Disana beliau
tinggal untuk bertapa, menyucikan diri dan mengajar murid-murid beliau. Tiba
pada suatu hari dalam pertapaan beliau, tiba-tiba terlihat sinar terang
menjulang ke angkasa. Pada saat itu terdengar sabda di angkasa. itu adalah
sabda dari Sang Hyang Jagatnatha , meminta agar Maharsi pergi ke arah
timur menuju Bali Pulina yang berada pas disebelah timur pulau Jawa.
Kemudian Sang Maharsi pergi ke pulau Bali, meninggalkan Gunung Raung mengikuti
petunjuk Ida Sang Hyang Dewata , diiringin 800 orang murid.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, segera beliau tiba
di Gunung Tohlangkir. Disana beliau merabas hutan, namun wabah penyakit
menghadang, banyak murid beliau tewas terkena penyakit yang mematikan. Akhirnya
beliau kembali ke Gunung Raung. Beliau melakukan tapa semadi, mohon petunjuk
dan keselamatan selama berada di Bali.
Setelah beliau mendapatkan petunjuk dari Yang Maha
Kuasa, kemudian beliau kembali lagi ke Bali, kali ini diiringi 400 orang
penduduk yang berasal dari orang-orang pegunungan (wong Aga ) yang
menganut agama Brahma. Setiba di Gunung Tohlangkir, beliau menanam panca
datu (perak, tembaga, emas, besi dan permata) disertai puja mantra dan
upacara bhuta yajna dan dewa yajna sesuai petunjuk yang beliau dapatkan sewaktu
bertapa di Gunung Raung. Ditempat beliau menanam Panca datu didirikan
sebuah pura yang diberi nama Pura Basukihan yang kemudian menjadi cikal bakal
kompleks Pura
Agung Besakih . Kata basukih berarti selamat, terhidar dari marabahaya. Barang siapa
yang tinggal atau menetap disekitar Gunung Raja (Agung) semoga mendapatkan
keselamatan. Demikian tujuan serta harapan beliau Sang Maharsi.
Entah berapa lama beliau menetap di Gunung Tohlangkir,
kemudian beliau bersama murid-muridnya pindah arah barat menuju bukit kecil
yang berjejer memanjang yang kelihatan dari Gunung Tohlangkir. Setibanya disana
beliau beristiarhat sejenak kemudian beliau melakukan tapa semadi, mohon ijin
melakukan perabasan hutan. Ditempat beliau beristirahat kemudian dibangun
sebuah parahyangan, selanjutnya diberi nama Pura Sabang Dahet, sekarang termasuk dalam Desa Pakraman Puwakan
.
Adapun bukit kecil berjejer tersebut, sekarang dikenal
dengan nama Munduk Taro termasuk dalam kecamatan Tegallalang. Sungai desebelah
timur Munduk Taro bernama Wos Lanang dan disebelah barat bernama Wos
Wadon , kedua sungai itu bertemu di daerah Ubud di daerah yang disebut Campuhan
. Pada Suatu hari Sang Maharsi melakukan yoga samadi di pertemuan sungai
tersebut, kemudian di tempat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura
Puncak Payogan atau sering disebut Pura Gunung Lebah.
Setelah para pengikut beliau selesai merabah hutan,
kemudian lahan tersebut dibagi-bagi oleh sang Maharsi, ada yang untuk
pemukiman, sawah, ladang, pura, kuburan. Tempat beliau membagi lahan tersebut
kemudian diberi nama Desa Pwakan. Pondok-pondok penduduk diatur berjejer
berkelompok. setiap kelompok diberi nama Banjar . Kumpulan dari beberapa
banjar diberi nama wanua/banua atau thani atau sekarang dikenal
dengan nama Desa Pakraman . Pemimpin dari Wanua disebut Tuha-tuha
. Wilayah Wanua disebut parimandala , batas wilayah disebut pangjahit
.
Selanjutnya dibangun pura yaitu Pura Hyang Api
, Pura Hyang Tanda dan Pura Hyang Karimana . Kemudian dibentuk
juga pengurusan sawah yang diberi nama Subak atau Suwak.
Setelah
semuanya berjalan lancar dan tertib, daerah tersebut kemudian diber nama sarwada
, tumbuh segala yang ditanam, dan panen selalu berhasil dengan baik. Sekarang
kawasan Sarwada itu dikenal dengan nama desa Taro. Setelah semuanya berhasil
baik, kemudian beliau membuat sebuah pura sebagai replika pasraman beliau di
Gunung Raung, pura tersebut diberi nama Pura Gunung Raung .
Pura
Gunung Raung berlokasi di desa Taro Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar.
Pura ini di bangun oleh Maharsi Markandya , seorang yogi dari Gunung
Raung. Setelah beberapa lama tinggal di Gunung Raung, dan setelah mendapatkan
petunjuk gaib, maka Rsi Markadya melakukan ekspedisi ke Bali dengan membawa 800
orang pengikut. Demikianlah yang tertulis disejumlah prasasti.
Sekilas
cerita perjalanan Rsi Markandya sampai di Desa Taro. Kemudian dilanjutkan
dengan cerita atau sejarah perjalanan mengapa Sanggah Dadia Taro ada di Desa
Pakraman Selulung, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Menurut
tetua kami ada yang menyebabkan hancurnya Desa Taro, Tegallalang, Gianyar,
sehingga kami yang ada di Taro meninggalkan Desa Taro, kemudian ada yang
tinggal di Desa Pakraman Selulung, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, sehingga tetua kami mendirikan Sanggah Dadia untuk melakukan
penghormatan ke kawitan kami yang ada di Taro. Walaupun kami sudah mendirikan
Sanggah Dadia di Desa Selulung tapi hubungan kami ke Desa Taro tidak pernah
putus. Buktinya sampai saat ini kami masih tetap bersembahyang ke Taro pada
saat ada piodalan buda kliwon pahang (piodalan di Pura Ratu Pasek Taro) kami
penyungsung Dadya tangkil ke Taro. Dan pada saat buda kliwon ugu (piodalan di
Pura Agung Gunung Raung) kami juga tangkil ke Taro untuk memohon keselamatan.
Tidak
semua dari Dadia Taro yang tinggal di Desa Selulung, karena terbatasnya lahan
atau tempat tinggal yang ada di Desa Selulung sehingga dibagi. Ada yang tinggal
di Desa Selulung dan ada yang tinggal di Desa Belantih. Jarak Sanggah Dadia
kurang lebih 15km dari tempat tinggal atau rumah kami. Sanggah Dadia ini
disungsung oleh Dadia Taro yang terdiri dari 200kk. Kemudian dari 200kk itu
tentunya perlu ada rasa antisipasi, dimana apabila kami tidak mempunyai merajan,
seandainya ada dari 200kk ini yang meninggal, kami tidak bisa melakukan
persembahyangan pada saat piodalan. Sehingga apabila kami mempunyai merajan kami
bisa melakukan persembahyangan di merajan itu sendiri. Dari 200kk ini dibagi
menjadi kelompok-kelompok kecil, menurut garis keturunan terdekat untuk masing-masing
membuat merajan, agar pada saat ada dari 200kk ini atau di Dadia ada keluarga
yang meninggal tidak mengganggu persembahyangan yang lainnya. Pada saat ada
yang meninggal hanya keluarga atau orang yang satu merajan saja yang sebel atau
cuntaka. Yang lainnya bisa melakukkan persembahyangan, akan tetapi persembahyangan
dilakukan dimerajan masing-masing, tidak bisa ke Sanggah Dadia karena Sanggah
Dadia pasti sebel apabila ada yang meninggal dari 200kk ini. Ada peraturan
sebel di Dadia Taro. Apabila orang yang meninggal adalah Pemangku Dadia, maka
sebel yang dilakukan adalah selama satu bulan tujuh hari (abulan pitung dina).
Namun apabila yang lainnya hanya dikenakan sebel selama 11 hari.
Dari
cerita diatas, adapun pelinggih-pelinggih yang ada di Sanggah Dadia Taro, Desa
Pakraman Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yaitu :
- Rong 3 (Tiga)
Rong
3 (Tiga) merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11
adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan Rong
3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi
dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru.
Ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan
(pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang Guru.
(Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Pemujaan ini di adopsi dari Sekte
Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan. Ada
juga banyak lontar yang menyebutkan pengertian tentang Palinggih Rong Tiga, adalah
Lontar Gong Besi yang menyebutkan bahwa pada
kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri
sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna
Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang
Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan wujud.
- Taksu
Taksu
merupakan palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka
Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.taksu
juga berarti daya magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau
kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi daritempat suci ini adalah untuk memohon
kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan
pelinggih ini. Juga difungsikan sebagai tempat transit Ida Bhatara ketika
diadakan piodalan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Brahma dan juga diadopsi
dari sekte Sakta yang memuja aspek feminism Tuhan (sakti/kekuatan).
3. Gedong Maprucut
Gedong
Maprucut: pemujaan ke Gunung Agung. Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia
antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana
Dewa. Di sana disimpulkan dan dijelaskan bahwa
Ida Bhatara yang melinggih di Gedong Maprucut adalah Ida Bhatara di Gunung
Agung. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang ada di Pura
Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi Markandeya.
4. Sanggaran
Sanggaran,
Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih
Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
Pelingih surya juga disebut sebagai bangunan untuk memuja
Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa saksi segala kegiatan manusia yang
berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam lontar Siwagama gelar Surya
Raditya adalah gelar atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena
bhakti dan kepandaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai
saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I
GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991
:5) sebagai symbol luhuring akasa
dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna. Pemujaan kepada Bhatara
Surya di adopsi dari Sekte Sora.
5. Rong 2 (Dua)
Rong
2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14,
di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda
(lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar
dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga
saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi
dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala,
sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai
symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu
leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring
Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam
menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya
yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.
6. Palinggih Rambut Sedana
Palinggih
Rambut Sedana atau Sri Sedana , palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana
atau Limascatu, yaitu Dewi Sri diyakini dalam konsepsi Agama Hindu adalah sakti
(kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Dewi Sri
yang juga diyakini sebagai Dewi memberi rejeki sehingga manusia menjadi makmur,
dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi bahagia. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ini di adopsi dari sekte Waisnawa.
7. Gedong Matudung pane
Gedong Matudung pane adalah palinggih Ida Bethara di
Gunung Lebah (Batur). Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih
di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi
Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkaPalinggih
ini dibuat bertujuan untuk melakukan penghormatan kepada Dewa yang bersthana di
Gunung Batur atau Lebah pada saat piodalan yang diselenggarakan oleh pangempon
Dadya Taro.
8. Palinggih Menjangan Saluang
Palinggih
Menjangan Saluang, untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa
mempersatukan umat berbagai sekte di Bali, maka didirikanlah pelinggih
menjangan saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya
terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran sebagai penganut Agama Hindu. Ini
bisa dikatakan sebagai penyatuan dari berbagai sekte yang ada menjadi sekte
siwa siddhanta, yang menyatukan umah Hindu di Bali.
9. Palinggih Gedong Plaga
Palinggih
Gedong Plaga, palinggih ini merupakan palinggih yang dibuat oleh Dadia Plaga.
Pelinggih ini ada di Dadia kami karena dulu pada saat Dadia Plaga datang ke Desa
Pakraman Selulung, Desa Belantih langsung menghadap atau memberi tahu
kedatangan mereka kepada keluarga kami Dadia Taro, kebetulan pada saat itu
keluarga kami di Dadia Taro yang dituakan di desa kami, sehingga kami
memberikan ijin kepada mereka untuk tinggal bersama di Desa Pakraman Selulung, Desa
Belantih. Dengan hal ini sehingga mereka mendirikan palinggih Gedong Plaga
untuk mengingat jasa para tetua kami, sehingga mereka tidak lupa dengan apa
yang telah kami lakukan pada zaman dahulu.
10. Palinggih Dane Jero Putus
Palinggih
Dane Jero Putus, Palinggih ini dibuat karena menurut tetua kami, dulu dari
keluarga kami Dadia Taro pernah menjadi Dane Jero Gede melalui pelaksanaan
upacara madwijati. Sehingga dibuatkan palinggih khusus untuk memuja atau
memberikan penghormatan kepada-Nya.
11. Palinggih Gedong Simpen Hyang
Palinggih
Gedong Simpen Hyang, Gedong Simpen Hyang ini berfungsi untuk ngemedalang dan
neluhurang Dewa Hyang pada saat piodalan akan dimulai dan saat piodalan akan
usai dilakukan.
12. Palinggih Dewa Hyang
Palinggih
Dewa Hyang, palinggih ini berfungsi untuk memuja dan menghaturkan sesajen
kepada Dewa Hyang (leluhur) pada saat piodalan yang sedang berlangsung.
13. Pemaruman atau Piasan
Pemaruman
atau Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku
untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di
linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut
sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi
Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena
ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
14. Lebuh
Lebuh,
Pemujaan kepada Bhatara Baruna (Segara). Untuk memohon lindungan dari Bhatara
segara. palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara
Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. Pemujaan ini
di adopsi dari sekte Waisnawa.
15. Bale Paduluan
Bale
Paduluan, berfungsi untuk Para tetua atau pemangku mesandekkkan atau
beristirahat pada saat sebelum dan sesudah melakukan persembahyangan. Disanalah
para paduluan berbincang-bincang atau beristirahat.
16. Apit Lawang
Apit
lawang berada di luar areal merajan (jabaan), apit lawang ada 2, yaitu di
samping kiri dan kanan pemedal merajan. Pemujaannya ditujukan kepada penunggu
karang (kala). Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung):
palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang
bertugas sebagai pecalang. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang
berfungsi sebagai penghalang gangguan untuk melindungi merajan dari gangguan
kala yang memiliki unsur negatif.
Selain
pelinggih yang saya sebutkan diatas ada juga beberapa pelinggih yang ada di
areal Sanggah Dadia Taro. Pelinggih-pelinggih ini merupakan pelinggih yang
dibuat untuk mengingat jasa para leluhur yang ada di Pura Puseh Glagah
Karangasem. Konon menurut tetua kami, dahulu pada saat para leluhur kami
melakukan perjalanan dari Desa Taro menuju ke Desa Pakraman Selulung, Desa
belantih, leluhur kami pernah melakukan persinggahan ke Desa Glagah Karangasem
dan tinggal disana. Maka dari itu dibuatlah palinggih untuk menghormati
jasa-jasa dari orang-orang Desa Glagah yang mau menerima kami pada saat kami
akan ke Desa Belantih.
Adapun
lanjutan dari pada bagian-bagian pelinggih tersebut di atas hampir sama dengan
palinggih yang telah saya sebutkan di atas, namun yang berbeda hanya jumlah
dari pada pelinggih itu sendiri dan hari piodalannya. Bagian pelinggihnya
antara lain :
17. Rong 3 (Tiga)
Rong
3 (Tiga), merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11
adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan
Rong 3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi
dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang
Guru. Ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah
disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang
Guru. (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Pemujaan ini di adopsi dari
Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu
Kuturan. Ada juga banyak lontar yang menyebutkan pengertian tentang Palinggih
Rong Tiga, adalah Lontar Gong Besi yang menyebutkan bahwa pada kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma.
Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah
wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam
wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan
wujud.
18. Palinggih Taksu
Palinggih
Taksu, : palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka
Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.taksu
juga berarti daya magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau
kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi daritempat suci ini adalah untuk memohon
kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan
pelinggih ini. Juga difungsikan sebagai tempat transit Ida Bhatara ketika
diadakan piodalan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Brahma dan juga diadopsi
dari sekte Sakta yang memuja aspek feminism Tuhan (sakti/kekuatan).
19. Gedong Maprucut
Gedong
Maprucut: pemujaan ke Gunung Agung. Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia
antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana
Dewa. Di sana disimpulkan dan dijelaskan bahwa
Ida Bhatara yang melinggih di Gedong Maprucut adalah Ida Bhatara di Gunung
Agung. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang ada di Pura
Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi Markandeya.
20. Sanggaran
Sanggaran,
Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih
Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
Pelingih surya juga disebut sebagai bangunan untuk memuja
Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa saksi segala kegiatan manusia yang
berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam lontar Siwagama gelar Surya
Raditya adalah gelar atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena
bhakti dan kepandaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai
saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I
GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991
:5) sebagai symbol luhuring akasa
dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna. Pemujaan kepada Bhatara
Surya di adopsi dari Sekte Sora.
21. Rong 2 (Dua)
Rong
2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14,
di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda
(lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar
dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga
saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi
dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala,
sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai
symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu
leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring
Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam
menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya
yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.
22. Gedong Matudung pane
Gedong Matudung pane adalah palinggih Ida Bethara di
Gunung Lebah (Batur). Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih
di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi
Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkaPalinggih
ini dibuat bertujuan untuk melakukan penghormatan kepada Dewa yang bersthana di
Gunung Batur atau Lebah pada saat piodalan yang diselenggarakan oleh pangempon
Dadya Taro.
23. Pemaruman atau Piasan
Pemaruman
atau Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku
untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di
linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut
sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi
Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena
ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
24. Bale Paduluan
Bale
Paduluan, berfungsi untuk Para tetua atau pemangku mesandekkkan atau
beristirahat pada saat sebelum dan sesudah melakukan persembahyangan. Disanalah
para paduluan berbincang-bincang atau beristirahat.
2.
Banten Piodalan di Dadia Taro
Banten
yang di gunakan dalam piodalan di sanggah atau merajan Dadya Taro Gunung Raung
desa pakraman selulung adalah :
Banten
di Pemaruman, karena pemaruman di Dadya Taro ngapit atau ada 2 maka banten yang
digunakanpun ada sepasang, yaitu: dandanan/ sorohan 2, pejatian 2, pelinggih
Guru Piduka 1, canang pengraos 2, pengajum 2, pengenem 2, canang raka 2, canang
sari 2, tapakan 2, pelupuhan 2, prayascita 2, praspengambean 2, praspenyeneng
2, durmangala 2, sayut ayaban 2, sayut prayas 2, kalayangan 2, salaran 2,
tubungan 2, suci laksana 2 perangkatan 1, segehan agung, tiga sampir, prasantun.
Banten kesurya menggunakan suci petak 1, banten pejatian 1, dandanan 1, dan
salaran satu. Di pelinggih yang lainnya menggunakan suci laksana, pejatian dan
dandanan yang masing-masing berjumlah satu. Akan tetapi hanya di pelinggih
lebuh yang menggunakan suci selem (hitam) dan di surya (sanggaran) yang
menggunakan suci petak (putih). Pelinggih yang lainnya menggunakan suci
laksana.
Adapun
bagian-bagian dari pada banten yang saya sebutkan di atas, yaitu :
1)
Dandanan, yang terdiri
dari : nasi kuning dua soroh (2), tipat blayag 1, pangkon sanganan 1, penyeneng
dua soroh, nasi sayut 1, bungan sayut 1, segehan 1, temakuran 11, tapakan 1,
tegenan (ketupat 3 (akelan), pisang, jajan, kelapa, itik, bija ratus canang,
tebu dan kayu dapdap).
2)
Pejatian, yang terdiri
dari : ketupat kelan dan dampulan, nasi kuning, ajuman, rayunan, kulit sayut,
kontong, segehan, penyeneng 2, dan daksina.
3)
Canang pengraos terdiri
dari : beras, benang, uang bolong, canang seri kili 3 berisi base lunggahan,
yang memakai alas dulang dan kain kasa (kampuh putih).
4)
Pangenem yang terdiri
dari, beras, benang, uang bolong, canang seri kili 4, yang memakai alas dulang
dan kain kasa (kampuh putih).
5)
Pangajum yang terdiri
dari : memakai alas dulang, kasa, daun pisang, beras, porosan, benang, ajuman
putih 2, pisang, buah-buahan, jajan, canang sri kili 2, canang sari dan
kepetan.
6)
Canang Raka, yang
terdiri dari : memakai alas dulang atau bokor, berisi beras, uang bolong 2
kepeng, porosan, dan memakai buah-buahan yang terdiri dari lima macam buah lalu
dihiasi dengan canang sari atau tehenan.
7)
Canang Sari yang
terdiri dari : memakai alas dulang atau bokor, berisi beras, uang bolong 2
kepeng, porosan, dan memakai bunga lalu dihiasi dengan canang sari atau
tehenan.
8)
Tapakan, yang terdiri
dari : tapakan ini hamper sama dengan Daksina namun yang membedakan antara
tapakan dan daksina adalah tapakan menggunakan kelapa yang biasa tanpa
digunduli atau dibersihkan, tapakan menggunakan wakul yang dibuat dari bambu
yang diulat. Bahan yang lainnya sama dengan Daksina.
9)
Pelupuhan yang terdiri
dari : nasi, urab, sate, tumpeng 2, tipat 3 (akelan), daging ayam atau babi,
tergantung dari pelaksanaan upacara pada saat piodalan, apakan menggunakan
daging babi atau ayam saja.
10) Prayascita
yang terdiri dari : menggunakan alas talam, nasi, tipat prayascita 5 buah,
kontong 5 buah yang berisi nasi, kwangen 5, tumpeng pedak 5, menggunakan
buah-buahan, jajan secukupnya, telor, canang prayascita.
11) Praspengambean,
yang terdiri dari : menggunakan alas dulang, nasi, tumpeng 2, ketu[at
3(akelan0, kuskus merah mekojong 11, kuskus putih mekojong 11, dan jaja uli
(ketan) putih dan merah 11.
12) Praspenyeneng,
yang terdiri dari : menggunakan alas talam, tumpeng 2, tipat 3(akelan), buah-buahan,
jajan, daging ayam, canang praspenyeneng.
13) Durmangala,
yang terdiri dari : kulit sayut, tumpeng, nasi, ajuman, rayunan, ancak
sudamala, bawang merah, cabe, telur, uang bolong 200, klungah nyuh gadang,
canang durmangala, tehenan bhu, dan lis alit.
14) Sayut
ayaban dan sayut prayas sama dengan prayascita.
15) Kalayangan,
yang terdiri dari : memakai alas tamas yang terbuat dari janur. Bagiannya
tulung, tumpeng 11, tehenanan bhu, ajuman, rayunan, nasi, dan damah sebanyak
pelinggih yang ada di Dadya Taro.
16) Salaran,
yang terdiri dari : menggunakan bebek, tipat 6(kelan), tegenan (ketupat 3
(akelan), pisang, jajan, kelapa, bebek, bija ratus canang, tebu dan kayu
dapdap, calung yang terbuat dari bambu yang isinya arak, berem dan yeh anyar).
17) Tubungan,
yang terdiri dari : memakai alas bokor, berisi beras, uang bolong 200, canang
kepet, kayu sugih, dan batang bunga kamboja (jepun).
18) Suci
laksana, yang terdiri dari : Bungan suci 1 (lengkap), ketupat kelan, dampulan,
ajuman rayunan, tumpeng 7 (jadi 4 tempat atau tamas), tipat pengambaian,
kontong, kulit sayut, daksina, sesantun, tehenan bhu, segehan, lelampadan dan
pesucian.
19) Perangkatan,
yang terdiri dari : gancaran, ketipat 6(kelan), telur, kampuh jemekan (kasa metampih,
uang bolong 200, tabuh-tabuh (arak, berem), pengasepan, toya anyar, rebu alit,
lis alit).
20) Segehan
agung, yang terdiri dari : memakai alas talam, daun telujungan, beras benang,
porosan, uang bolong 200, tumpeng 2, itik samblehan (itik yang baru lahir),
kelapa, takir yang isinya (garam, cabe, bawang merah), nasi yang dicampur
dengan garam, bawang dan jahe, kemudian juga berisi beras ajumput 11, base
tampel 11.
21) Tiga
sampir adalah sebuah banten yang menggunakan alas dulang yang berisi berbagai
macam kain yang dibentuk segitiga kemudian kain-kain itu di tingkat-tingkankan
sehingga membentuk segitiga.
22) Prasantun,
yang terdiri dari : tipat 6(kelan), dampulan, ajuman, rayunan, peras,
penyeneng, sesantun, daging ayam, tehenan bhu.
Dari
penjelasan dari pada bagian-bagian banten yang dipergunakan pada saat piodalan
di dadia Taro dapat saya ambil penyatuan sekte yang ada di Bali adalah Sekte
Siwa Sidhanta. Semua Sekte itu dalam banten yang digunakan pada saat piodalan.
Diantaranya menggunakan beras, daging, air, api dan yang lainnya. Maka dari
banten-banten yang sudah disebutkan sudah jelas sekali terlihat adanya
penyatuan sekte Siwa Siddhanta.
3.
Mantra pada saat Piodalan di Sanggah Dadia Taro
Mantra
yang dipergunakan oleh para pemangku di Dadya Taro adalah sesontengan atau
seha. Sesontengan
adalah ucapan penganteb banten dengan kata-kata biasa sehari-hari yang
dilakukan oleh para walaka yang belum mempelajari puja ataupun mantra.
Sesontengan digunakan karena pada jaman dahulu tidak banyak orang yang tau
tentang mantra. Mantra tidak berani diucapakan oleh orang-orang dahulu karena
ditakutkan apabila salah mengucapkan mantra akan menyesatkan para umat yang
tidak benar mngucapkan mantra itu sendiri, sehingga dipilihlah sesontengan atau
seha dalam menghaturkan banten atau mengawali upacara itu dimulai.
Mantra
pada saat persembahyangan dimulai menggunakan puja mantra yang sama seperti
persembahyangan yang lainnya yaitu, panca kramaning sembah, bedanya pada saat
persembahyangan ditambahkan menghaturkan atau mengucapkan terima kasih atas
segala yang diberikan atau penghormatan kepada roh leluhur atau Bhatara Hyang
(Hyang dewa, hyang dewi) yang menggunakan mantra seha yang dipimpin oleh
pemangku. Dan mengucapakan terima kasih kepada ibu pertiwi yang menggunakan
mantra kepada ibu pertiwi. Pada saat menghaturkan banten guru piduka maka
menggunakan mantra seha memakai kuangen dan dupa.
4.
Sejarah Merajan
Pada
bulan agustus tanun 1987 di desa belantih desa pakraman selulung mengadakan
upacara pitra yadnya (ngaben). Secara sekala upacara ngaben itu berjalan dengan
lancar, namun secara niskala perlu juga kami menanyakan kepada orang pintar
istilahnya dukun, apakah proses ngaben yang kami lakukan sudah berjalan baik,
karena baik menurut sekala juga harus benar menurut niskala. Akhirnya pada saat
itu, menurut keyakinan kami, pelaksanaan upacara ngaben Desa Belantih, Desa
Pakraman Selulung sudah berjalan dengan lancer, namun ada petunjuk dari niskala
yang disebut Bhatara Hyang Guru atau Dewa Hyang, kami harus mendirikan tempat
suci atau pengayengan yang dimaksud dengan pengayengan adalah agar keluarga
kami ada tempat untuk menyembah leluhur dilingkungan tempat tinggal.
Pengayengan sama dengan merajan. Akhirnya kami mengadakan peparuman (rapat
keluarga), untuk disepakati mendirikan Pengayengan (merajan). Menurut petunjuk
yang diberikan adapun pelinggih-pelinggih yang harus dibangun di pura
pengayengan (merajan) itu, karena kebetulan pengayengan (merajan) kami
menghadap keselatan, akan disebutkan pelinggih mulai dari barat menghadap keselatan
adalah gedong rong 1, rong 2, disebelah timur laut ada pelinggih sanggaran,
rong 3, panglurah, pelinggih Dewa Hyang, ditengah-tengah ada pebaturan atau
pemaruman dan diluar ada apit lawang. Pengempon pengayengan (merajan) terdiri
dari 29kk yang ada dikeluarga besar kami. Sampai saat ini keluarga kami
melakukan upacara piodalan setiap redite ukir, karena menurut kepercayaan pada
saat redite ukir adalah turunnya Bhatara Hyang Guru. Kemudian dalam keseharian
pada saat hari rahinan seperti purnama, tilem dan rainan yang lainnya kami melakukan
persembahyangan di merajan, akan tetapi tidak bersama-sama.
Sanggah
berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan
(pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti
keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan
sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam
Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan
adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan
kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih. Konsep penyatuan merajan dalam
Siwa Sidhanta, Palinggih yang ada pada merajan, yaitu sebagai berikut:
1.
Rong 1 (Satu)
Rong
1 (Satu), Pemujaan ke Gunung Agung, untuk memuja Bhatara yang ada di Gunung
Agung atau Pura Besakih. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang
ada di Pura Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi
Markandeya.
2.
Rong 2 (Dua)
Rong
2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14,
di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda
(lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar
dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga
saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi
dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala,
sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai
symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu
leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring
Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam
menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya
yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.
3.
Sanggaran
Sanggaran,
Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih
Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
Pemujaan kepada Bhatara Surya di adopsi dari Sekte Sora.
4.
Rong 3 (Tiga)
Rong
3 (Tiga), merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11
adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan
R3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi
dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang
Guru. ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah
disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang
Guru. Pemujaan ini di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang
Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan.
5.
Pangrurah
Pangrurah,
merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah
yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan. Sertan Sanghyang
Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Pemujaan
ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi untuk menjaga merajan.
6.
Lebuh
Lebuh,
Pemujaan kepada Bhatara Baruna (Segara). Untuk memohon lindungan dari Bhatara
segara. palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara
Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. Pemujaan ini
di adopsi dari sekte Waisnawa.
7.
Apit lawang
Apit
lawang, apit lawang berada di luar areal merajan (jabaan), apit lawang ada 2,
yaitu di samping kiri dan kanan pemedal merajan. Pemujaannya ditujukan kepada
penunggu karang (kala). Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung):
palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang
bertugas sebagai pecalang. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang
berfungsi sebagai penghalang gangguan untuk melindungi merajan dari gangguan
kala yang memiliki unsur negatif.
8.
Piasan
Piasan,
tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku untuk
menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di
linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut
sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan
atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika
dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
5. Banten dan Mantra
yang dipergunakan pada saat Piodalan di merajan (pengayengan)
Banten
dan mantra pada saat Piodalan di Merajan saya sama dengan banten dan mantra
yang dipergunakan pada saat piodalan di dadia.
Palinggih
pokok yang ada di Sanggah Pamrajan 7 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan
di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah
Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.
Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda ada yang memecah menjadi tiga
kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok
panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
Pemujaan pada
Tuhan ini memotivasi umat Hindu di Bali agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak Tri Bhuwana. Lebih khusus lagi untuk
di Bali dengan memuja Tuhan dengan
simbol sakral di pelinggih-pelinggih yang ada, berarti umat di
Bali dimotivasi untuk memelihara kelestarian segara, dataran rendah dan daerah
perbukitan serta pegunungan. Dengan berfungsinya sumber-sumber alam tersebut secara
terpadu kehidupan di Bali ini akan
berlangsung dengan baik, benar dan
wajar.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Singaraja : tp.
Jendra, Wayan. 1998. Cara
Mencapai Moksa Zaman Kali. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Sadia, I Ketut, dkk. 1982. Weda Untuk PGA Hindu Kelas I. Jakarta : Proyek Pembinaan Mutu
Pendidikan Agama Hindu dan Budha.
Soebandi, Ktut. 2008.Riwayat Merajan Di Bali. Denpasar :
CV Kayumas Agung
Soebandi, Ktut. Tt. Pura
Kawitan/Pedharman dan Penyungsungan Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung.
Suhardana, K.M. 2006. Dasar
– dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita
Titib, I Made. 2003. Teologis
& Simbol – simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya :Paramita.
Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana
Umat Hindu Menghayati Tuhan.
Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar : Widya Dharma dengan Fakultas Ilmu
Agama Universitas Hindu Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar