Rabu, 15 Januari 2014

DADIA TARO

1. Sejarah Dadia Taro
Sejarah berdirinya Dadia Taro berawal dari Pasek Taro yang berada di Desa Pakraman Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Berdasarkan sejumlah sumber tertulis seperti purana, prasasti, usana, babad, pamancangah dan tatwa, pada jaman dahulu Pura Gunung Raung dibangun berkat kehendak Maharsi Markandeya. Beliau merupakan seorang mahayogi yang sangat utama berasal dari keturunan warga Brgu.
Diceritakan pada jaman dahulu seorang Maharsi yang bernama Maharsi Markandya membangun pertapaan di Gunung Raung Jawa Timur.  Pada jaman dahulu, ada salah satu keturunan Sang Hyang Jagatnatha yang bernama Sang Hyang Rsiwu adalah seorang maharsi yang cakap dan bijaksana, mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru . Setelah lama menikah beliau mempunyai dua orang putra bernama Sang Ayati dan Sang Niata . Sang Ayati berputra Sang Prana , dan Sang Niata berputra Sang Markanda . Sang Markanda kemudian menikah dengan seorang gadis yang cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini , kemudian mempunyai anak bernama Maharsi Markadeya .
Diceritakan beliau sangat tampan dan mempunyai banyak ilmu, paham terhdapa isi sastra utama. Kemudian beliau menikahi seorang gadis yang bernama Dewi Dumara . Beliau mempunyai seorang putra bergelar Hyang Rsi Dewa Sirah yang kemudian memperistri Dewi Wipari , selanjutnya mereka mempunyai banyak anak dan menurunkan banyak keturunan.
Maharsi Markandeya juga dianggap sebagai titisan dari Bhatara Surya, beliau berasal dari negara Bharatawarsa (India), kemudian ada keinginan beliau untuk mengembara, membuka daerah baru dengan merabas hutan menuju selatan. Tidak diceritakan dalam perjalanan sampailah beliau di Gunung Damalung di wilayah Gunung Hyang atau disebut juga Gunung Dewata. Namun disana sudah ada terlebih dahulu pertapaan Sang Ila putra dari Sang Rsi Trenawindu , merupakan murid dari Maharsi Agastya. Disamping itu terdapat juga pertapaan Sang Aridewi dan Sang Anaka disebelah lain dari Gunung Hyang yang sekarang disebut Gunung Dieng. Maka Sang Maharsi Markadeya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Raung di Jawa Timur.
Setiba beliau di Gunung Raung, maka semua murid-murid beliau merabas hutan untuk membangun pasraman dan pondok-pondok. Disana beliau tinggal untuk bertapa, menyucikan diri dan mengajar murid-murid beliau. Tiba pada suatu hari dalam pertapaan beliau, tiba-tiba terlihat sinar terang menjulang ke angkasa. Pada saat itu terdengar sabda di angkasa. itu adalah sabda dari Sang Hyang Jagatnatha , meminta agar Maharsi pergi ke arah timur menuju Bali Pulina yang berada pas disebelah timur pulau Jawa. Kemudian Sang Maharsi pergi ke pulau Bali, meninggalkan Gunung Raung mengikuti petunjuk Ida Sang Hyang Dewata , diiringin 800 orang murid.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, segera beliau tiba di Gunung Tohlangkir. Disana beliau merabas hutan, namun wabah penyakit menghadang, banyak murid beliau tewas terkena penyakit yang mematikan. Akhirnya beliau kembali ke Gunung Raung. Beliau melakukan tapa semadi, mohon petunjuk dan keselamatan selama berada di Bali.
Setelah beliau mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa, kemudian beliau kembali lagi ke Bali, kali ini diiringi 400 orang penduduk yang berasal dari orang-orang pegunungan (wong Aga ) yang menganut agama Brahma. Setiba di Gunung Tohlangkir, beliau menanam panca datu (perak, tembaga, emas, besi dan permata) disertai puja mantra dan upacara bhuta yajna dan dewa yajna sesuai petunjuk yang beliau dapatkan sewaktu bertapa di Gunung Raung. Ditempat beliau menanam Panca datu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Basukihan yang kemudian menjadi cikal bakal kompleks Pura Agung Besakih . Kata basukih berarti selamat, terhidar dari marabahaya. Barang siapa yang tinggal atau menetap disekitar Gunung Raja (Agung) semoga mendapatkan keselamatan. Demikian tujuan serta harapan beliau Sang Maharsi.
Entah berapa lama beliau menetap di Gunung Tohlangkir, kemudian beliau bersama murid-muridnya pindah arah barat menuju bukit kecil yang berjejer memanjang yang kelihatan dari Gunung Tohlangkir. Setibanya disana beliau beristiarhat sejenak kemudian beliau melakukan tapa semadi, mohon ijin melakukan perabasan hutan. Ditempat beliau beristirahat kemudian dibangun sebuah parahyangan, selanjutnya diberi nama Pura Sabang Dahet, sekarang termasuk dalam Desa Pakraman Puwakan .
Adapun bukit kecil berjejer tersebut, sekarang dikenal dengan nama Munduk Taro termasuk dalam kecamatan Tegallalang. Sungai desebelah timur Munduk Taro bernama Wos Lanang dan disebelah barat bernama Wos Wadon , kedua sungai itu bertemu di daerah Ubud di daerah yang disebut Campuhan . Pada Suatu hari Sang Maharsi melakukan yoga samadi di pertemuan sungai tersebut, kemudian di tempat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Puncak Payogan atau sering disebut Pura Gunung Lebah.
Setelah para pengikut beliau selesai merabah hutan, kemudian lahan tersebut dibagi-bagi oleh sang Maharsi, ada yang untuk pemukiman, sawah, ladang, pura, kuburan. Tempat beliau membagi lahan tersebut kemudian diberi nama Desa Pwakan. Pondok-pondok penduduk diatur berjejer berkelompok. setiap kelompok diberi nama Banjar . Kumpulan dari beberapa banjar diberi nama wanua/banua atau thani atau sekarang dikenal dengan nama Desa Pakraman . Pemimpin dari Wanua disebut Tuha-tuha . Wilayah Wanua disebut parimandala , batas wilayah disebut pangjahit .
Selanjutnya dibangun pura yaitu Pura Hyang Api , Pura Hyang Tanda dan Pura Hyang Karimana . Kemudian dibentuk juga pengurusan sawah yang diberi nama Subak atau Suwak.
Setelah semuanya berjalan lancar dan tertib, daerah tersebut kemudian diber nama sarwada , tumbuh segala yang ditanam, dan panen selalu berhasil dengan baik. Sekarang kawasan Sarwada itu dikenal dengan nama desa Taro. Setelah semuanya berhasil baik, kemudian beliau membuat sebuah pura sebagai replika pasraman beliau di Gunung Raung, pura tersebut diberi nama Pura Gunung Raung .
Pura Gunung Raung berlokasi di desa Taro Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Pura ini di bangun oleh Maharsi Markandya , seorang yogi dari Gunung Raung. Setelah beberapa lama tinggal di Gunung Raung, dan setelah mendapatkan petunjuk gaib, maka Rsi Markadya melakukan ekspedisi ke Bali dengan membawa 800 orang pengikut. Demikianlah yang tertulis disejumlah prasasti.
Sekilas cerita perjalanan Rsi Markandya sampai di Desa Taro. Kemudian dilanjutkan dengan cerita atau sejarah perjalanan mengapa Sanggah Dadia Taro ada di Desa Pakraman Selulung, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Menurut tetua kami ada yang menyebabkan hancurnya Desa Taro, Tegallalang, Gianyar, sehingga kami yang ada di Taro meninggalkan Desa Taro, kemudian ada yang tinggal di Desa Pakraman Selulung, Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sehingga tetua kami mendirikan Sanggah Dadia untuk melakukan penghormatan ke kawitan kami yang ada di Taro. Walaupun kami sudah mendirikan Sanggah Dadia di Desa Selulung tapi hubungan kami ke Desa Taro tidak pernah putus. Buktinya sampai saat ini kami masih tetap bersembahyang ke Taro pada saat ada piodalan buda kliwon pahang (piodalan di Pura Ratu Pasek Taro) kami penyungsung Dadya tangkil ke Taro. Dan pada saat buda kliwon ugu (piodalan di Pura Agung Gunung Raung) kami juga tangkil ke Taro untuk memohon keselamatan.
Tidak semua dari Dadia Taro yang tinggal di Desa Selulung, karena terbatasnya lahan atau tempat tinggal yang ada di Desa Selulung sehingga dibagi. Ada yang tinggal di Desa Selulung dan ada yang tinggal di Desa Belantih. Jarak Sanggah Dadia kurang lebih 15km dari tempat tinggal atau rumah kami. Sanggah Dadia ini disungsung oleh Dadia Taro yang terdiri dari 200kk. Kemudian dari 200kk itu tentunya perlu ada rasa antisipasi, dimana apabila kami tidak mempunyai merajan, seandainya ada dari 200kk ini yang meninggal, kami tidak bisa melakukan persembahyangan pada saat piodalan. Sehingga apabila kami mempunyai merajan kami bisa melakukan persembahyangan di merajan itu sendiri. Dari 200kk ini dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, menurut garis keturunan terdekat untuk masing-masing membuat merajan, agar pada saat ada dari 200kk ini atau di Dadia ada keluarga yang meninggal tidak mengganggu persembahyangan yang lainnya. Pada saat ada yang meninggal hanya keluarga atau orang yang satu merajan saja yang sebel atau cuntaka. Yang lainnya bisa melakukkan persembahyangan, akan tetapi persembahyangan dilakukan dimerajan masing-masing, tidak bisa ke Sanggah Dadia karena Sanggah Dadia pasti sebel apabila ada yang meninggal dari 200kk ini. Ada peraturan sebel di Dadia Taro. Apabila orang yang meninggal adalah Pemangku Dadia, maka sebel yang dilakukan adalah selama satu bulan tujuh hari (abulan pitung dina). Namun apabila yang lainnya hanya dikenakan sebel selama 11 hari.
Dari cerita diatas, adapun pelinggih-pelinggih yang ada di Sanggah Dadia Taro, Desa Pakraman Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yaitu :

  1. Rong 3 (Tiga)
Rong 3 (Tiga) merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan Rong 3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang Guru. (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Pemujaan ini di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan. Ada juga banyak lontar yang menyebutkan pengertian tentang Palinggih Rong Tiga, adalah Lontar Gong Besi yang menyebutkan bahwa pada kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan wujud.

  1. Taksu
Taksu merupakan palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.taksu juga berarti daya magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi daritempat suci ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan pelinggih ini. Juga difungsikan sebagai tempat transit Ida Bhatara ketika diadakan piodalan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Brahma dan juga diadopsi dari sekte Sakta yang memuja aspek feminism Tuhan (sakti/kekuatan).

3. Gedong Maprucut
Gedong Maprucut: pemujaan ke Gunung Agung. Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkan dan dijelaskan bahwa Ida Bhatara yang melinggih di Gedong Maprucut adalah Ida Bhatara di Gunung Agung. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang ada di Pura Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi Markandeya.

4. Sanggaran
Sanggaran, Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Pelingih surya juga disebut sebagai bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa saksi segala kegiatan manusia yang berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991 :5) sebagai symbol luhuring akasa dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna. Pemujaan kepada Bhatara Surya di adopsi dari Sekte Sora.

5. Rong 2 (Dua)
Rong 2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14, di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.

6. Palinggih Rambut Sedana
Palinggih Rambut Sedana atau Sri Sedana , palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limascatu, yaitu Dewi Sri diyakini dalam konsepsi Agama Hindu adalah sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Dewi Sri yang juga diyakini sebagai Dewi memberi rejeki sehingga manusia menjadi makmur, dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi bahagia. Sehingga dapat dikatakan bahwa ini di adopsi dari sekte Waisnawa.

7. Gedong Matudung pane
Gedong Matudung pane adalah palinggih Ida Bethara di Gunung Lebah (Batur). Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkaPalinggih ini dibuat bertujuan untuk melakukan penghormatan kepada Dewa yang bersthana di Gunung Batur atau Lebah pada saat piodalan yang diselenggarakan oleh pangempon Dadya Taro.

8. Palinggih Menjangan Saluang
Palinggih Menjangan Saluang, untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat berbagai sekte di Bali, maka didirikanlah pelinggih menjangan saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran sebagai penganut Agama Hindu. Ini bisa dikatakan sebagai penyatuan dari berbagai sekte yang ada menjadi sekte siwa siddhanta, yang menyatukan umah Hindu di Bali.

9. Palinggih Gedong Plaga
Palinggih Gedong Plaga, palinggih ini merupakan palinggih yang dibuat oleh Dadia Plaga. Pelinggih ini ada di Dadia kami karena dulu pada saat Dadia Plaga datang ke Desa Pakraman Selulung, Desa Belantih langsung menghadap atau memberi tahu kedatangan mereka kepada keluarga kami Dadia Taro, kebetulan pada saat itu keluarga kami di Dadia Taro yang dituakan di desa kami, sehingga kami memberikan ijin kepada mereka untuk tinggal bersama di Desa Pakraman Selulung, Desa Belantih. Dengan hal ini sehingga mereka mendirikan palinggih Gedong Plaga untuk mengingat jasa para tetua kami, sehingga mereka tidak lupa dengan apa yang telah kami lakukan pada zaman dahulu.

10. Palinggih Dane Jero Putus
Palinggih Dane Jero Putus, Palinggih ini dibuat karena menurut tetua kami, dulu dari keluarga kami Dadia Taro pernah menjadi Dane Jero Gede melalui pelaksanaan upacara madwijati. Sehingga dibuatkan palinggih khusus untuk memuja atau memberikan penghormatan kepada-Nya.

11. Palinggih Gedong Simpen Hyang
Palinggih Gedong Simpen Hyang, Gedong Simpen Hyang ini berfungsi untuk ngemedalang dan neluhurang Dewa Hyang pada saat piodalan akan dimulai dan saat piodalan akan usai dilakukan.

12. Palinggih Dewa Hyang
Palinggih Dewa Hyang, palinggih ini berfungsi untuk memuja dan menghaturkan sesajen kepada Dewa Hyang (leluhur) pada saat piodalan yang sedang berlangsung.

13. Pemaruman atau Piasan
Pemaruman atau Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.

14. Lebuh
Lebuh, Pemujaan kepada Bhatara Baruna (Segara). Untuk memohon lindungan dari Bhatara segara. palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Waisnawa.
15. Bale Paduluan
Bale Paduluan, berfungsi untuk Para tetua atau pemangku mesandekkkan atau beristirahat pada saat sebelum dan sesudah melakukan persembahyangan. Disanalah para paduluan berbincang-bincang atau beristirahat.

16. Apit Lawang  
Apit lawang berada di luar areal merajan (jabaan), apit lawang ada 2, yaitu di samping kiri dan kanan pemedal merajan. Pemujaannya ditujukan kepada penunggu karang (kala). Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai penghalang gangguan untuk melindungi merajan dari gangguan kala yang memiliki unsur negatif.
Selain pelinggih yang saya sebutkan diatas ada juga beberapa pelinggih yang ada di areal Sanggah Dadia Taro. Pelinggih-pelinggih ini merupakan pelinggih yang dibuat untuk mengingat jasa para leluhur yang ada di Pura Puseh Glagah Karangasem. Konon menurut tetua kami, dahulu pada saat para leluhur kami melakukan perjalanan dari Desa Taro menuju ke Desa Pakraman Selulung, Desa belantih, leluhur kami pernah melakukan persinggahan ke Desa Glagah Karangasem dan tinggal disana. Maka dari itu dibuatlah palinggih untuk menghormati jasa-jasa dari orang-orang Desa Glagah yang mau menerima kami pada saat kami akan ke Desa Belantih.
Adapun lanjutan dari pada bagian-bagian pelinggih tersebut di atas hampir sama dengan palinggih yang telah saya sebutkan di atas, namun yang berbeda hanya jumlah dari pada pelinggih itu sendiri dan hari piodalannya. Bagian pelinggihnya antara lain :

17. Rong 3 (Tiga)
Rong 3 (Tiga), merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan Rong 3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang Guru. (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Pemujaan ini di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan. Ada juga banyak lontar yang menyebutkan pengertian tentang Palinggih Rong Tiga, adalah Lontar Gong Besi yang menyebutkan bahwa pada kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan wujud.

18. Palinggih Taksu
Palinggih Taksu, : palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.taksu juga berarti daya magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi daritempat suci ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan pelinggih ini. Juga difungsikan sebagai tempat transit Ida Bhatara ketika diadakan piodalan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Brahma dan juga diadopsi dari sekte Sakta yang memuja aspek feminism Tuhan (sakti/kekuatan).

19. Gedong Maprucut
Gedong Maprucut: pemujaan ke Gunung Agung. Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkan dan dijelaskan bahwa Ida Bhatara yang melinggih di Gedong Maprucut adalah Ida Bhatara di Gunung Agung. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang ada di Pura Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi Markandeya.

20. Sanggaran
Sanggaran, Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Pelingih surya juga disebut sebagai bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa saksi segala kegiatan manusia yang berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991 :5) sebagai symbol luhuring akasa dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna. Pemujaan kepada Bhatara Surya di adopsi dari Sekte Sora.

21. Rong 2 (Dua)
Rong 2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14, di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.

22. Gedong Matudung pane
Gedong Matudung pane adalah palinggih Ida Bethara di Gunung Lebah (Batur). Lontar-lontar yang menyebutkan posisi palinggih-palinggih di Sanggah Dadia antara lain: Siwagama, Dewa Tattwa, Gong Wesi, Purwa Bumi Kemulan, dan Usana Dewa. Di sana disimpulkaPalinggih ini dibuat bertujuan untuk melakukan penghormatan kepada Dewa yang bersthana di Gunung Batur atau Lebah pada saat piodalan yang diselenggarakan oleh pangempon Dadya Taro.

23. Pemaruman atau Piasan
Pemaruman atau Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.

24. Bale Paduluan
Bale Paduluan, berfungsi untuk Para tetua atau pemangku mesandekkkan atau beristirahat pada saat sebelum dan sesudah melakukan persembahyangan. Disanalah para paduluan berbincang-bincang atau beristirahat.

2. Banten Piodalan di Dadia Taro
Banten yang di gunakan dalam piodalan di sanggah atau merajan Dadya Taro Gunung Raung desa pakraman selulung adalah :
Banten di Pemaruman, karena pemaruman di Dadya Taro ngapit atau ada 2 maka banten yang digunakanpun ada sepasang, yaitu: dandanan/ sorohan 2, pejatian 2, pelinggih Guru Piduka 1, canang pengraos 2, pengajum 2, pengenem 2, canang raka 2, canang sari 2, tapakan 2, pelupuhan 2, prayascita 2, praspengambean 2, praspenyeneng 2, durmangala 2, sayut ayaban 2, sayut prayas 2, kalayangan 2, salaran 2, tubungan 2, suci laksana 2 perangkatan 1, segehan agung, tiga sampir, prasantun. Banten kesurya menggunakan suci petak 1, banten pejatian 1, dandanan 1, dan salaran satu. Di pelinggih yang lainnya menggunakan suci laksana, pejatian dan dandanan yang masing-masing berjumlah satu. Akan tetapi hanya di pelinggih lebuh yang menggunakan suci selem (hitam) dan di surya (sanggaran) yang menggunakan suci petak (putih). Pelinggih yang lainnya menggunakan suci laksana.
Adapun bagian-bagian dari pada banten yang saya sebutkan di atas, yaitu :
1)      Dandanan, yang terdiri dari : nasi kuning dua soroh (2), tipat blayag 1, pangkon sanganan 1, penyeneng dua soroh, nasi sayut 1, bungan sayut 1, segehan 1, temakuran 11, tapakan 1, tegenan (ketupat 3 (akelan), pisang, jajan, kelapa, itik, bija ratus canang, tebu dan kayu dapdap).
2)      Pejatian, yang terdiri dari : ketupat kelan dan dampulan, nasi kuning, ajuman, rayunan, kulit sayut, kontong, segehan, penyeneng 2, dan daksina.
3)      Canang pengraos terdiri dari : beras, benang, uang bolong, canang seri kili 3 berisi base lunggahan, yang memakai alas dulang dan kain kasa (kampuh putih).
4)      Pangenem yang terdiri dari, beras, benang, uang bolong, canang seri kili 4, yang memakai alas dulang dan kain kasa (kampuh putih).
5)      Pangajum yang terdiri dari : memakai alas dulang, kasa, daun pisang, beras, porosan, benang, ajuman putih 2, pisang, buah-buahan, jajan, canang sri kili 2, canang sari dan kepetan.
6)      Canang Raka, yang terdiri dari : memakai alas dulang atau bokor, berisi beras, uang bolong 2 kepeng, porosan, dan memakai buah-buahan yang terdiri dari lima macam buah lalu dihiasi dengan canang sari atau tehenan.
7)      Canang Sari yang terdiri dari : memakai alas dulang atau bokor, berisi beras, uang bolong 2 kepeng, porosan, dan memakai bunga lalu dihiasi dengan canang sari atau tehenan.
8)      Tapakan, yang terdiri dari : tapakan ini hamper sama dengan Daksina namun yang membedakan antara tapakan dan daksina adalah tapakan menggunakan kelapa yang biasa tanpa digunduli atau dibersihkan, tapakan menggunakan wakul yang dibuat dari bambu yang diulat. Bahan yang lainnya sama dengan Daksina.
9)      Pelupuhan yang terdiri dari : nasi, urab, sate, tumpeng 2, tipat 3 (akelan), daging ayam atau babi, tergantung dari pelaksanaan upacara pada saat piodalan, apakan menggunakan daging babi atau ayam saja.
10)  Prayascita yang terdiri dari : menggunakan alas talam, nasi, tipat prayascita 5 buah, kontong 5 buah yang berisi nasi, kwangen 5, tumpeng pedak 5, menggunakan buah-buahan, jajan secukupnya, telor, canang prayascita.
11)  Praspengambean, yang terdiri dari : menggunakan alas dulang, nasi, tumpeng 2, ketu[at 3(akelan0, kuskus merah mekojong 11, kuskus putih mekojong 11, dan jaja uli (ketan) putih dan merah 11.
12)  Praspenyeneng, yang terdiri dari : menggunakan alas talam, tumpeng 2, tipat 3(akelan), buah-buahan, jajan, daging ayam, canang praspenyeneng.
13)  Durmangala, yang terdiri dari : kulit sayut, tumpeng, nasi, ajuman, rayunan, ancak sudamala, bawang merah, cabe, telur, uang bolong 200, klungah nyuh gadang, canang durmangala, tehenan bhu, dan lis alit.
14)  Sayut ayaban dan sayut prayas sama dengan prayascita.
15)  Kalayangan, yang terdiri dari : memakai alas tamas yang terbuat dari janur. Bagiannya tulung, tumpeng 11, tehenanan bhu, ajuman, rayunan, nasi, dan damah sebanyak pelinggih yang ada di Dadya Taro.
16)  Salaran, yang terdiri dari : menggunakan bebek, tipat 6(kelan), tegenan (ketupat 3 (akelan), pisang, jajan, kelapa, bebek, bija ratus canang, tebu dan kayu dapdap, calung yang terbuat dari bambu yang isinya arak, berem dan yeh anyar).
17)  Tubungan, yang terdiri dari : memakai alas bokor, berisi beras, uang bolong 200, canang kepet, kayu sugih, dan batang bunga kamboja (jepun).
18)  Suci laksana, yang terdiri dari : Bungan suci 1 (lengkap), ketupat kelan, dampulan, ajuman rayunan, tumpeng 7 (jadi 4 tempat atau tamas), tipat pengambaian, kontong, kulit sayut, daksina, sesantun, tehenan bhu, segehan, lelampadan dan pesucian.
19)  Perangkatan, yang terdiri dari : gancaran, ketipat 6(kelan), telur, kampuh jemekan (kasa metampih, uang bolong 200, tabuh-tabuh (arak, berem), pengasepan, toya anyar, rebu alit, lis alit).
20)  Segehan agung, yang terdiri dari : memakai alas talam, daun telujungan, beras benang, porosan, uang bolong 200, tumpeng 2, itik samblehan (itik yang baru lahir), kelapa, takir yang isinya (garam, cabe, bawang merah), nasi yang dicampur dengan garam, bawang dan jahe, kemudian juga berisi beras ajumput 11, base tampel 11.
21)  Tiga sampir adalah sebuah banten yang menggunakan alas dulang yang berisi berbagai macam kain yang dibentuk segitiga kemudian kain-kain itu di tingkat-tingkankan sehingga membentuk segitiga.
22)  Prasantun, yang terdiri dari : tipat 6(kelan), dampulan, ajuman, rayunan, peras, penyeneng, sesantun, daging ayam, tehenan bhu.
Dari penjelasan dari pada bagian-bagian banten yang dipergunakan pada saat piodalan di dadia Taro dapat saya ambil penyatuan sekte yang ada di Bali adalah Sekte Siwa Sidhanta. Semua Sekte itu dalam banten yang digunakan pada saat piodalan. Diantaranya menggunakan beras, daging, air, api dan yang lainnya. Maka dari banten-banten yang sudah disebutkan sudah jelas sekali terlihat adanya penyatuan sekte Siwa Siddhanta.

3. Mantra pada saat Piodalan di Sanggah Dadia Taro
Mantra yang dipergunakan oleh para pemangku di Dadya Taro adalah sesontengan atau seha. Sesontengan adalah ucapan penganteb banten dengan kata-kata biasa sehari-hari yang dilakukan oleh para walaka yang belum mempelajari puja ataupun mantra. Sesontengan digunakan karena pada jaman dahulu tidak banyak orang yang tau tentang mantra. Mantra tidak berani diucapakan oleh orang-orang dahulu karena ditakutkan apabila salah mengucapkan mantra akan menyesatkan para umat yang tidak benar mngucapkan mantra itu sendiri, sehingga dipilihlah sesontengan atau seha dalam menghaturkan banten atau mengawali upacara itu dimulai.
Mantra pada saat persembahyangan dimulai menggunakan puja mantra yang sama seperti persembahyangan yang lainnya yaitu, panca kramaning sembah, bedanya pada saat persembahyangan ditambahkan menghaturkan atau mengucapkan terima kasih atas segala yang diberikan atau penghormatan kepada roh leluhur atau Bhatara Hyang (Hyang dewa, hyang dewi) yang menggunakan mantra seha yang dipimpin oleh pemangku. Dan mengucapakan terima kasih kepada ibu pertiwi yang menggunakan mantra kepada ibu pertiwi. Pada saat menghaturkan banten guru piduka maka menggunakan mantra seha memakai kuangen dan dupa.

4. Sejarah Merajan
Pada bulan agustus tanun 1987 di desa belantih desa pakraman selulung mengadakan upacara pitra yadnya (ngaben). Secara sekala upacara ngaben itu berjalan dengan lancar, namun secara niskala perlu juga kami menanyakan kepada orang pintar istilahnya dukun, apakah proses ngaben yang kami lakukan sudah berjalan baik, karena baik menurut sekala juga harus benar menurut niskala. Akhirnya pada saat itu, menurut keyakinan kami, pelaksanaan upacara ngaben Desa Belantih, Desa Pakraman Selulung sudah berjalan dengan lancer, namun ada petunjuk dari niskala yang disebut Bhatara Hyang Guru atau Dewa Hyang, kami harus mendirikan tempat suci atau pengayengan yang dimaksud dengan pengayengan adalah agar keluarga kami ada tempat untuk menyembah leluhur dilingkungan tempat tinggal. Pengayengan sama dengan merajan. Akhirnya kami mengadakan peparuman (rapat keluarga), untuk disepakati mendirikan Pengayengan (merajan). Menurut petunjuk yang diberikan adapun pelinggih-pelinggih yang harus dibangun di pura pengayengan (merajan) itu, karena kebetulan pengayengan (merajan) kami menghadap keselatan, akan disebutkan pelinggih mulai dari barat menghadap keselatan adalah gedong rong 1, rong 2, disebelah timur laut ada pelinggih sanggaran, rong 3, panglurah, pelinggih Dewa Hyang, ditengah-tengah ada pebaturan atau pemaruman dan diluar ada apit lawang. Pengempon pengayengan (merajan) terdiri dari 29kk yang ada dikeluarga besar kami. Sampai saat ini keluarga kami melakukan upacara piodalan setiap redite ukir, karena menurut kepercayaan pada saat redite ukir adalah turunnya Bhatara Hyang Guru. Kemudian dalam keseharian pada saat hari rahinan seperti purnama, tilem dan rainan yang lainnya kami melakukan persembahyangan di merajan, akan tetapi tidak bersama-sama.
Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih. Konsep penyatuan merajan dalam Siwa Sidhanta, Palinggih yang ada pada merajan, yaitu sebagai berikut:

1. Rong 1 (Satu)
Rong 1 (Satu), Pemujaan ke Gunung Agung, untuk memuja Bhatara yang ada di Gunung Agung atau Pura Besakih. Di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yaitu pemujaan yang ada di Pura Basukian (Besakih) tempat ditanamnya panca datu oleh Rsi Markandeya.

2. Rong 2 (Dua)
Rong 2 (Dua), Kemulan Rong 2 dikembangkan oleh Danghyang Nirarta sejak abad ke 14, di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai “arde nareswari” rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga. Dan di Rong Dua ini menurut konsepsi keluarga saya yang dipuja adalah Bhatara Kawitan (akasa dan pertiwi). Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran. palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa. Pemujaa terhadap Ibu Pertiwi di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai pelindung di dunia.

3. Sanggaran
Sanggaran, Pemujaannya di tujukan kepada Bhatara Surya atau Sang Hyang Tunggal. palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. Pemujaan kepada Bhatara Surya di adopsi dari Sekte Sora.

4. Rong 3 (Tiga)
Rong 3 (Tiga), merupakan Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3; di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan R3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Sang Hyang Trimurti) Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya) atau sering disebut pemujaan terhadap Bhatara Hyang Guru. Pemujaan ini di adopsi dari Sekte Siwa Sidhanta yang memuja Sang Hyang Trimurti berdasarkan konsep Mpu Kuturan.

5. Pangrurah
Pangrurah, merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan. Sertan Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi untuk menjaga merajan.

6. Lebuh
Lebuh, Pemujaan kepada Bhatara Baruna (Segara). Untuk memohon lindungan dari Bhatara segara. palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Waisnawa.

7. Apit lawang
Apit lawang, apit lawang berada di luar areal merajan (jabaan), apit lawang ada 2, yaitu di samping kiri dan kanan pemedal merajan. Pemujaannya ditujukan kepada penunggu karang (kala). Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. Pemujaan ini di adopsi dari sekte Gonapatya yang berfungsi sebagai penghalang gangguan untuk melindungi merajan dari gangguan kala yang memiliki unsur negatif.

8. Piasan
Piasan, tempat untuk menata banten yang akan di haturkan, tempat Pemangku untuk menghaturkan Puja mantranya, serta apabila ada benda-benda sakral akan di linggihkan (ditempatkan) untuk dihias dan dihormati. Sering juga disebut sebagai Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.

5. Banten dan Mantra yang dipergunakan pada saat Piodalan di merajan   (pengayengan)
Banten dan mantra pada saat Piodalan di Merajan saya sama dengan banten dan mantra yang dipergunakan pada saat piodalan di dadia.
Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan 7 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya. Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
Pemujaan pada Tuhan ini memotivasi umat Hindu di Bali agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak Tri Bhuwana. Lebih khusus lagi untuk di Bali dengan memuja Tuhan dengan simbol sakral di pelinggih-pelinggih yang ada, berarti umat di Bali dimotivasi untuk memelihara kelestarian segara, dataran rendah dan daerah perbukitan serta pegunungan. Dengan berfungsinya sumber-sumber alam tersebut secara terpadu kehidupan di Bali ini akan berlangsung dengan baik, benar dan wajar.


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Singaraja : tp.

Jendra, Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksa Zaman Kali. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.

Sadia, I Ketut, dkk. 1982. Weda Untuk PGA Hindu Kelas I. Jakarta : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha.

Soebandi, Ktut. 2008.Riwayat Merajan Di Bali. Denpasar : CV Kayumas Agung
Soebandi, Ktut. Tt. Pura Kawitan/Pedharman dan Penyungsungan Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung.

Suhardana, K.M. 2006. Dasar – dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita
Titib, I Made. 2003. Teologis & Simbol – simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya :Paramita.

Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan.

Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar : Widya Dharma dengan Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.







0 komentar: